Karya: Syifa Nadia*
Matahari
naik semakin tinggi saat para orang tua menjemput anak nya di sebuah sekolah
dasar. Diantara beberapa anak yang berhamburan dari gerbang sekolah, ada dua
gadis cilik jalan berdampingan, sambil membicarakan kartun favorit mereka. Salah
satunya dengan mata bulat bernama Kania, dan gadis disebelahnya adalah Fifi.
“Fi,
hari ini aku boleh main di rumah mu?” tanya Kania riang kepada sahabatnya itu.
Fifi
menggigit bibirnya. “Maaf, Kania, tapi hari ini Ayah dan Ibu ku mau mengajak
makan siang diluar. Bagaimana kalau lain waktu?”
Belum
sempat Kania membalas ucapan Fifi, terdengar teriakan dari kejauhan. “Fifiiiii..”
“Ayah!”
Wajah Fifi berbinar dan segera menghampiri seorang lelaki yang berjalan menuju
ke arahnya.
Ayah
Fifi mengangkat tubuh mungil anaknya dan mengayun pelan dengan penuh kasih
sayang. “Apakah kau belajar dengan baik hari ini, nak?”
“Tentu”
lalu Fifi menunjukan sebuah kertas yang dihiasi gambar bintang di pojok atas.
“Ibu guru bilang gambar ku sangat bagus, yah”
Tidak
lama kemudian datang seorang wanita berpakaian rapi yang terlihat bahagia
menatap interaksi ayah dan anak di hadapannya. Kedua orang tersebut merupakan
hal paling berharga yang dimiliki wanita itu. Sejenak ia mengalihkan pandangannya
kepada Kania yang juga sedang menatap Fifi dan ayahnya namun dengan ekspresi
sedih.
“Kania,
kakak mu belum datang menjemput?” sapa ibu Fifi
Kania
menggelengkan kepalanya. Ibu Fifi menghela napas sejenak dan segera mengambil
handphone dari dalam tas untuk menghubungi Intan, kakak Kania yang biasa menjemputnya tiap hari
sepulang sekolah.
“Halo?
Intan kamu dimana? Kenapa adikmu belum dijemput?”
“Aku
sedang ada acara di sekolah jadi pulang terlambat dan tidak bisa menjemput Kania.
Tapi aku sudah bilang Ayah kok, dan katanya Ayah yang mau jemput Kania di
Sekolah. Sampai sekarang belum datang?” jawab Intan di ujung telepon
“Oh
begitu, mungkin Ayahmu lupa. Baiklah, tante akan telepon dia untuk mengingatkan-”
Percakapan
ibu Fifi dan Intan terputus ketika terdengar suara berat seorang lelaki yang
cukup mengangetkan
“Ada
apa kamu ingin menelepon saya?” ucap lelaki itu dingin.
Ibu
Fifi berbalik menghadap ke arah pemilik suara yang tidak lain adalah ayah dari
Kania.
“Duh
kamu, jangan bikin kaget seperti itu dong! Jadi, saya mau telepon kamu karena
khawatir kenapa Kania belum dijemput”
Ayah
Kania hanya mengangguk pelan. “Ayo Kania pulang!” ucapnya sekali lagi dengan
ekspresi datar.
Ibu
Fifi berdecak heran melihat tingkah lelaki yang merupakan suami dari mendiang
sahabatnya. Sementara ayah Fifi tersenyum kecil sambil memperhatikan kania yang
berjalan menunduk mengikuti ayahnya dari belakang.
“Mengapa
ya ayah kania selalu terlihat menyeramkan?” tanya Fifi polos dan kedua orang
tua Fifi tergelak mendengar pertanyaan dari anak semata wayang mereka.
Diperjalanan
menuju rumah, Kania melirik Ayahnya yang sedang fokus menyetir mobil.
Pikirannya melayang mengingat kejadian di sekolah tadi. Kedua orang tua Fifi
terlihat begitu menyayangi Fifi, terbukti dengan sapaan hangat dan gendongan
yang diberikan oleh ayah Fifi, sementara ayahnya sendiri tidak melakukan hal
yang sama. Tiba – tiba Kania meneteskan air mata.
Ayah
kania lalu menghentikan mobilnya dan berkata, “Tunggu sebentar!”
Ia
pun keluar dari mobil dan kembali lima menit kemudian dengan membawa ice cream strawberry.
Diberikannya ice cream itu kepada Kania yang masih menangis.
“Cepat
dimakan! nanti ice cream nya cair” ujar ayah kania.
Gadis
bermata bulat itu menatap ice cream kesukaanya dengan tatapan kosong, ia ingin
memakan ice cream itu tetapi dadanya terlalu sesak oleh rasa kesal sampai ia kehilangan
selera. Kania memilih untuk membiarkan ice cream strawberry itu mencair.
Malam
hari, Intan pulang ke rumah setelah selesai acara sekolah disambut dengan
suasana yang galau. Ayahnya duduk termenung di ruang makan sambil menatap ice
cream yang sudah mencair. Ia juga mendengar sayup – sayup tangisan adiknya dari
dalam kamar.
Intan
melangkahkan kaki untuk menemui Kania terlebih dahulu karena kedatangannya
tidak terlalu digubris oleh ayahnya.
“Ada
apa Kania? Kenapa kamu menangis?”
“Kak
apakah ayah membenci ku? Apakah aku anak nakal?”
“Tentu
saja tidak. Kenapa kamu berkata seperti itu?”
“Aku
tau ayah membenci ku, kak. Ayah tidak pernah mengajak ku bermain seperti ayahnya
fifi, dia juga sangat jarang berbicara. Tidak ada tanda bahwa ayah menyayangi
ku”
Mendengar
jawaban dari Kania, Intan berpikir keras untuk menjelaskan pada adiknya agar ia
mengerti jika Ayah mereka memiliki sifat pemalu dan canggung bahkan terhadap
anaknya sendiri, sehingga ia kesulitan untuk mengungkapkan rasa sayang kepada
anak – anaknya.
Intan
mendapat ide, ia bertanya kepada Kania mengenai ice cream strawberry cair yang
dipegang ayahnya di ruang makan.
“Iya
kak, tadi ayah membelikan ku ice cream tapi tidak aku makan. Memangnya kenapa?”
Intan
mengelus rambut adiknya dan mencoba untuk menjelaskan secara lembut. “Kania
sayang, sebenarnya ayah sungguh khawatir karena kamu tidak mau memakan ice
cream kesukaanmu. Dia juga khawatir saat melihat mu mulai menangis. Oleh karena
itu ia membelikan ice cream supaya kamu berhenti menangis”
“Jika
kamu melihat seseorang yang kamu sayangi menangis, rasanya akan sedih juga.”
Jelas intan
“Kalau
kamu melihat Fifi menangis pasti kamu akan menghiburnya, bukan?”
Kania
menanggukan kepala dan Intan tersenyum lalu melanjutkan perkataannya.
“Karena
kamu peduli pada Fifi dan menyayanginya sebagai teman pasti kamu akan melakukan
itu. Sama seperti Ayah yang sayang kepadamu. Ayah akan merasa sedih jika kamu
terus – terusan menangis jadi dia mencoba menghibur dengan membelikan ice cream
kesukaanmu.”
Intan
menghela napas panjang. “Hmm.. selain itu Kania, apabila ada sesuatu yang ingin
kamu sampaikan kepada ayah, seperti... kamu ingin bermain dengannya atau ingin ia
lebih sering berbicara dengan mu, langsung katakan saja. Jangan berharap ayah
dapat mengetahui apa yang kamu inginkan dengan sendirinya. Apalagi kamu hanya
menangis, ayah tidak akan mengerti apa yang kamu mau dan malah merasa sedih
karena kamu menangis. Kamu tidak ingin membuat ayah menjadi sedih, kan?”
Kania
menggeleng, sepertinya penjelasan dari kakaknya sudah cukup membuat ia paham
akan sikap ayahnya itu.
“Nanti
Aku mau minta maaf sama ayah” ucap Kania sambil memeluk kakaknya yang kini
tersenyum lega.
Tanpa
mereka sadari, sejak beberapa menit lalu, ayah mereka sudah berdiri di depan
pintu kamar. Ada sesuatu yang juga ia pelajari dari kata – kata Intan. Anak
pertamanya itu telah tumbuh menjadi semakin dewasa dan bahkan mungkin lebih
bijak dibandingkan dirinya sendiri.
Tentang Penulis:
*Syifa Nadia
Penulis adalah
mahasiswi jurusan Hubungan Internasional 2014 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Brawijaya. Saat ini ia aktif berproses dalam divisi Sastra
LPM Perspektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar