Rabu, 02 April 2014

Akreditasi Universitas Turun, Salah Siapa?




Oleh: 
 Andy Ilman Hakim *

Pada dasarnya, status akreditasi Perguruan Tinggi dimaksudkan untuk mengukur tingkat kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana perguruan tinggi mampu meningkatkan mutu, efisiensi, serta relevansi suatu program studi yang diselenggarakan. Tolak ukur yang digunakan didasarkan atas kriteria-kriteria penilaian yang sudah ditetapkan, sebut saja izin penyelenggaraan pendidikan tinggi, persyaratan dan kelayakan penyelenggaraan pendidikan tinggi, relevansi penyelenggaraan program pendidikan dengan pembangunan, kinerja perguruan tinggi, efisiensi pengelolaan perguruan tinggi. Klasifikasi penilaian untuk semua kriteria tersebut ditentukan oleh 3 aspek, yaitu mutu (bobot 50%), efisiensi (bobot 25%) dan relevansi (25%). Berikut tabel nilai dan peringkat akreditasi perguruan tinggi :
Tabel Nilai dan Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi
Nilai
Peringkat
0 – 400
NA
401 – 500
C
501 – 600
B
601 – 700
A
Sumber : www.pts.co.id


Penetapan perguruan tinggi memperoleh nilai akreditasi diatur dalam beberapa tingkatan, atau yang biasa dikenal peringkat akreditasi seperti diatas. Lantas siapa yang berhak menentukan tingkat nilai atau peringkat akreditasi perguruan tinggi? Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Tujuannya tentu membantu pemerintah dalam upaya melakukan tugas dan kewajiban pengawasan mutu dan efisiensi pendidikan tinggi. Melalui BAN-PT inilah, masyarakat dapat mengetahui sejauh mana mutu penyelenggaraan pendidikan di sebuah perguruan tinggi.
Beberapa bulan lalu, sempat hangat dalam ingatan kita ketika BAN-PT melaksanakan uji akreditasi di Universitas Brawijaya. Jelas bahwa kehadiran BAN-PT akan melihat unsur-unsur kriteria penilaian akreditasi perguruan tinggi. Sejauh mana Univ. Brawijaya melakukan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Layak atau tidak Univ Brawijaya memperoleh penilaian yang sebelumnya menyandang akreditasi A? Lantas, bagaimana dampak akreditasi ini terhadap mahasiswa dan eksistensi Univ. Brawijaya ke depan?
Pertanyaan-pertanyaan diatas terjawab dan bahkan terdengar beredar luas di media sosial. Hasil penilaian akreditasi benar-benar menjadi perhatian bagi kalangan civitas akademika terutama mahasiswa. Pada tahun ini, BAN-PT melalui hasil penilaiannya memutuskan bahwa Univ. Brawijaya memperoleh nilai akreditasi B. Itu pertanda, akreditasi mengalami penurunan dibandingkan dengan akreditasi sebelumnya. Siapakah yang bertanggungjawab atas turunnya kualitas pendidikan di kampus ini? Mari kita analisis sebab dan dampak penurunan akreditasi ini.
Ada beberapa sudut pandang yang dapat penulis lihat dari gambaran penurunan akreditasi di Univ. Brawijaya. Pertama, kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, beberapa tahun ini kampus kita tengah disibukkan oleh berbagai pembangunan fisik diberbagai sektor, terutama pada pengadaan gedung pendidikan. Dari beberapa titik wilayah kampus, fakultas demi fakultas seolah-olah berlomba-lomba mendirikan bangunan megahnya masing-masing. Ditambah lagi pembangunan sarana lain seperti pembangunan jalan, gedung pertemuan, dan lain-lain.
Tentu saja pembangunan yang sedemikian ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Konsekuensinya, dana pembangunan mengalami peningkatan. Sudah menjadi rahasia umum jika mahasiswa menjadi salah satu sumber penyandang dana terbesar yang harus menutupi pembiayaan pembagunan fisik tersebut. Maka, secara otomatis kebijakan penerimaan mahasiswa di Univ. Brawijaya dari tahun ke tahun wajar manakala mengalami pembeludakan. Sederhananya, sektor pendapatan meningkat maka pembiayaan pembangunan tertutupi. Ditambah lagi dana pembangunan yang seharusnya ditanggung negara, kini menjadi ‘beban’ mahasiswa. Fokus terhadap pembangunan fisik inilah yang kemudian berdampak pada deretan sektor kualitas penyelenggaraan akademik.
Banyaknya jumlah mahasiswa yang hanya ditunjang oleh sarana gedung pendidikan tidak menjamin pelaksanaan program pendidikan yang berkualitas. Realitas yang kita lihat, sebanyak 50 bahkan lebih jumlah mahasiswa berada dalam satu ruang kelas. Logikanya, bagaimana kualitas pengajaran dapat berjalan baik jika satu pengajar harus menanggung jumlah mahasiswa yang sedemikian. Di satu sisi, jumlah pengajar yang sangat terbatas sangat tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa. Di sisi lain, alat kelengkapan akademik tidak menunjang penyelenggaraan program pendidikan akibat tingginya jumlah mahasiswa.
Orientasi poin pertama ini dapat terlihat bahwa fokus penyelenggara pendidikan terletak pada pengejaran target pembangunan fisik yang kemudian menuntut penerimaan jumlah mahasiswa yang sekian banyak. Sehingga terlihat bahwa fokus penyelenggaraan kualitas program pendidikan menjadi dikesampingkan. Fokus kualitas akademik yang menjadi poin penilaian BAN-PT dalam mengakreditasi perguruan tinggi tidak terpenuhi akibat kebijakan penyelenggara yang berfokus pada kuantitas mahasiswa sebagai dampak dari sektor pembangunan fisik.
Kedua, kebijakan penambahan jurusan baru. Munculnya jurusan-jurusan yang baru berdiri turut berdampak pada penurunan akreditasi. Sampai saat ini masih ada jurusan-jurusan yang belum memiliki akreditasi. Mengapa demikian, jurusan baru yang akan diakreditasi juga harus melalui tahap-tahap penilaian. Sudah dapat diprediksi, jurusan baru akan mengalami kesulitan memperoleh akreditasi. Jumlah mahasiswa yang banyak, tingkat output/lulusan yang belum mencukupi prasyarat, tenaga pengajar yang terbatas, serta penunjang penyelenggaraan pendidikan yang tidak memadai menjadi salah satu alasan mengapa masih banyak jurusan baru yang sampai saat ini belum memiliki akreditasi.
Tentu saja hal tersebut turut berdampak dan mempengaruhi akreditasi lembaga pendidikan tinggi. Dampaknya, jurusan-jurusan yang lama berdiri dan sudah memperoleh akreditasi A merasakan dampak turunnya akreditasi universitas. Karena sesuai dengan kriteria penilaian akreditasi lembaga, tentu akan dilihat dan dipertimbangkan kelayakan serta kualitas penyelenggaraan program pendidikan secara menyeluruh  termasuk dengan kondisi jurusan-jurusan baru tersebut.
Ketiga, faktor stabilitas birokrasi menjelang pemilihan rektor. Sangat mungkin terjadi kemunculan persaingan politik antar birokrat yang turut memiliki hubungan dengan momentum pelaksanaan akreditasi. Kondisi politik antar birokrat akan memunculkan indikasi-indikasi persaingan secara politis. Hal ini sangat merugikan bagi stabilitas pelayanan publik, dan tentu saja turut mempengaruhi proses kinerja perguruan tinggi. Rendahnya kontrol publik, yang dalam hal ini mahasiswa dan masyarakat umum akan semakin menciptakan persaingan yang tidak sehat. Jika kita melihat perjalanan pemilihan rektor, sangat minim sekali kontrol internal yang secara serius mengawal pelaksanaan transisi kepemimpinan lembaga tinggi ini. Mengapa penulis katakan sangat mungkin muncul persaingan secara politis yang berdampak pada stabilitas pelayanan publik, karena minimnya kontrol publik sehingga keleluasaan untuk bersaing secara tidak sehat terbuka lebar.
Hal penting yang cukup menjadi tanda tanya besar adalah minimnya transparansi data faktor-faktor yang menyebabkan akreditasi lembaga mengalami penurunan. Sampai detik ini, sangat susah diakses data-data yang secara terbuka memperlihatkan penurunan akreditasi. Akses data tersebut setidaknya menjadi bahan evaluasi bersama warga kampus untuk secara terbuka melihat apa saja yang menjadi penyebab penurunan akreditasi. Namun, kejadian penurunan akreditasi lembaga ini seolah-olah terkesan tertutup. Maka, sangat wajar sekali manakala opini yang dibangun di publik memperlihatkan bahwa penurunan akreditasi erat kaitannya dengan persaingan politik antar birokrat yang tengah berkompetisi dalam pemilihan rektor.
Dari ketiga sudut pandang diatas, cukup bagi kita untuk melihat sejauh mana kualitas penyelenggaraan pendidikan di Univ. Brawijaya. Contoh-contoh yang penulis hadirkan sebenarnya merupakan realitas yang kita lihat dan kita alami sehari-hari, terutama pada sisi penyelenggaraan pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum jika sarana dan prasarana, pelayanan publik, serta orientasi pembangunan yang masih jauh dari kata memuaskan. Dan penulis harus memberikan pilihan secara bebas bagi para pembaca, apakah penilaian akreditasi saat ini kepada Univ. Brawijaya oleh BAN-PT sudah tepat atau tidak.
Memang harus disadari bahwa penurunan akreditasi lembaga turut berpengaruh pada alumni-alumni yang sedang mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan mensyaratkan akreditasi universitas A bagi lulusan perguruan tinggi, namun ada juga perusahaan yang mensyaratkan akreditasi A pada jurusan lulusan perguruan tinggi. Sebenarnya menurut penulis, persoalan akreditasi ini bukan menjadi sandungan/hambatan yang besar bagi mahasiwa pencari kerja. Sehingga sampai menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran yang mendalam hanya karena takut tidak memperoleh pekerjaan. Penulis ingin berbagi rasa optimis bahwa kesuksesan tidak hanya sekadar diukur dari IPK dan akreditasi tinggi, melainkan sejauh mana mahasiswa mampu mengasah potensi yang jauh lebih berpengaruh terhadap kesuksesan mereka. Meskipun IPK dan akreditasi turut berpengaruh, namun bukan berarti hal itu menjadi penghambat utama bagi lulusan mahasiswa untuk mencapai sukses.
Mari kita belajar dari apa yang sudah dialami saat ini. Sudah saatnya lulusan mahasiswa lebih berpikir mandiri dan optimis menyambut dunia kerja. Bukankah sudah banyak kita dengar banyak lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran, tapi tidak sedikit juga yang kita lihat banyak lulusan perguruan tinggi yang meraih kesuksesan dengan kemandirian yang mampu mereka ciptakan. Masihkan berpangku tangan dan takut tidak dapat kerja hanya satu persoalan akreditasi? Cukup ini menjadi catatan bahwa peran kita tidak sekadar untuk menuntut ilmu saja, tapi harus tetap peka terhadap keadaan kampus kita tercinta. Semakin baik kontrol segenap civitas akademika, semakin besar peluang kualitas penyelenggaraan pendidikan tercapai. Kalau kualitas dan potensi diri kita baik, tidak ada alasan bagi kesuksesan untuk menghindar. Sudah siap menjadi lulusan terbaik?

*Mahasiswa Ilmu Politik / FISIP 2010

1 komentar: