Oleh:
Andy Ilman Hakim *
Pada
dasarnya, status akreditasi Perguruan Tinggi dimaksudkan untuk mengukur tingkat
kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Ini penting dilakukan untuk melihat
sejauh mana perguruan tinggi mampu meningkatkan mutu, efisiensi, serta
relevansi suatu program studi yang diselenggarakan. Tolak ukur yang digunakan didasarkan
atas kriteria-kriteria penilaian yang sudah ditetapkan, sebut saja izin
penyelenggaraan pendidikan tinggi, persyaratan dan kelayakan penyelenggaraan
pendidikan tinggi, relevansi penyelenggaraan program pendidikan dengan
pembangunan, kinerja perguruan tinggi, efisiensi pengelolaan perguruan tinggi.
Klasifikasi penilaian untuk semua kriteria tersebut ditentukan oleh 3 aspek,
yaitu mutu (bobot 50%), efisiensi (bobot 25%) dan relevansi (25%). Berikut
tabel nilai dan peringkat akreditasi perguruan tinggi :
Tabel Nilai dan
Peringkat Akreditasi Perguruan Tinggi
Nilai
|
Peringkat
|
0 – 400
|
NA
|
401 – 500
|
C
|
501 – 600
|
B
|
601 – 700
|
A
|
Penetapan
perguruan tinggi memperoleh nilai akreditasi diatur dalam beberapa tingkatan,
atau yang biasa dikenal peringkat akreditasi seperti diatas. Lantas siapa yang
berhak menentukan tingkat nilai atau peringkat akreditasi perguruan tinggi?
Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Tujuannya tentu membantu pemerintah dalam upaya melakukan tugas dan kewajiban
pengawasan mutu dan efisiensi pendidikan tinggi. Melalui BAN-PT inilah,
masyarakat dapat mengetahui sejauh mana mutu penyelenggaraan pendidikan di
sebuah perguruan tinggi.
Beberapa
bulan lalu, sempat hangat dalam ingatan kita ketika BAN-PT melaksanakan uji
akreditasi di Universitas Brawijaya. Jelas bahwa kehadiran BAN-PT akan melihat
unsur-unsur kriteria penilaian akreditasi perguruan tinggi. Sejauh mana Univ.
Brawijaya melakukan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Layak atau
tidak Univ Brawijaya memperoleh penilaian yang sebelumnya menyandang akreditasi
A? Lantas, bagaimana dampak akreditasi ini terhadap mahasiswa dan eksistensi
Univ. Brawijaya ke depan?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas terjawab dan bahkan terdengar beredar luas di media sosial. Hasil
penilaian akreditasi benar-benar menjadi perhatian bagi kalangan civitas
akademika terutama mahasiswa. Pada tahun ini, BAN-PT melalui hasil penilaiannya
memutuskan bahwa Univ. Brawijaya memperoleh nilai akreditasi B. Itu pertanda,
akreditasi mengalami penurunan dibandingkan dengan akreditasi sebelumnya.
Siapakah yang bertanggungjawab atas turunnya kualitas pendidikan di kampus ini?
Mari kita analisis sebab dan dampak penurunan akreditasi ini.
Ada
beberapa sudut pandang yang dapat penulis lihat dari gambaran penurunan
akreditasi di Univ. Brawijaya. Pertama,
kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, beberapa
tahun ini kampus kita tengah disibukkan oleh berbagai pembangunan fisik
diberbagai sektor, terutama pada pengadaan gedung pendidikan. Dari beberapa
titik wilayah kampus, fakultas demi fakultas seolah-olah berlomba-lomba
mendirikan bangunan megahnya masing-masing. Ditambah lagi pembangunan sarana
lain seperti pembangunan jalan, gedung pertemuan, dan lain-lain.
Tentu
saja pembangunan yang sedemikian ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Konsekuensinya, dana pembangunan mengalami peningkatan. Sudah menjadi rahasia
umum jika mahasiswa menjadi salah satu sumber penyandang dana terbesar yang harus
menutupi pembiayaan pembagunan fisik tersebut. Maka, secara otomatis kebijakan
penerimaan mahasiswa di Univ. Brawijaya dari tahun ke tahun wajar manakala
mengalami pembeludakan. Sederhananya, sektor pendapatan meningkat maka
pembiayaan pembangunan tertutupi. Ditambah lagi dana pembangunan yang
seharusnya ditanggung negara, kini menjadi ‘beban’ mahasiswa. Fokus terhadap
pembangunan fisik inilah yang kemudian berdampak pada deretan sektor kualitas
penyelenggaraan akademik.
Banyaknya
jumlah mahasiswa yang hanya ditunjang oleh sarana gedung pendidikan tidak
menjamin pelaksanaan program pendidikan yang berkualitas. Realitas yang kita
lihat, sebanyak 50 bahkan lebih jumlah mahasiswa berada dalam satu ruang kelas.
Logikanya, bagaimana kualitas pengajaran dapat berjalan baik jika satu pengajar
harus menanggung jumlah mahasiswa yang sedemikian. Di satu sisi, jumlah
pengajar yang sangat terbatas sangat tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa.
Di sisi lain, alat kelengkapan akademik tidak menunjang penyelenggaraan program
pendidikan akibat tingginya jumlah mahasiswa.
Orientasi
poin pertama ini dapat terlihat bahwa fokus penyelenggara pendidikan terletak
pada pengejaran target pembangunan fisik yang kemudian menuntut penerimaan
jumlah mahasiswa yang sekian banyak. Sehingga terlihat bahwa fokus
penyelenggaraan kualitas program pendidikan menjadi dikesampingkan. Fokus
kualitas akademik yang menjadi poin penilaian BAN-PT dalam mengakreditasi
perguruan tinggi tidak terpenuhi akibat kebijakan penyelenggara yang berfokus pada
kuantitas mahasiswa sebagai dampak dari sektor pembangunan fisik.
Kedua,
kebijakan penambahan jurusan baru. Munculnya jurusan-jurusan yang baru berdiri
turut berdampak pada penurunan akreditasi. Sampai saat ini masih ada
jurusan-jurusan yang belum memiliki akreditasi. Mengapa demikian, jurusan baru
yang akan diakreditasi juga harus melalui tahap-tahap penilaian. Sudah dapat
diprediksi, jurusan baru akan mengalami kesulitan memperoleh akreditasi. Jumlah
mahasiswa yang banyak, tingkat output/lulusan
yang belum mencukupi prasyarat, tenaga pengajar yang terbatas, serta penunjang
penyelenggaraan pendidikan yang tidak memadai menjadi salah satu alasan mengapa
masih banyak jurusan baru yang sampai saat ini belum memiliki akreditasi.
Tentu
saja hal tersebut turut berdampak dan mempengaruhi akreditasi lembaga
pendidikan tinggi. Dampaknya, jurusan-jurusan yang lama berdiri dan sudah
memperoleh akreditasi A merasakan dampak turunnya akreditasi universitas.
Karena sesuai dengan kriteria penilaian akreditasi lembaga, tentu akan dilihat
dan dipertimbangkan kelayakan serta kualitas penyelenggaraan program pendidikan
secara menyeluruh termasuk dengan
kondisi jurusan-jurusan baru tersebut.
Ketiga, faktor
stabilitas birokrasi menjelang pemilihan rektor. Sangat mungkin terjadi
kemunculan persaingan politik antar birokrat yang turut memiliki hubungan
dengan momentum pelaksanaan akreditasi. Kondisi politik antar birokrat akan
memunculkan indikasi-indikasi persaingan secara politis. Hal ini sangat
merugikan bagi stabilitas pelayanan publik, dan tentu saja turut mempengaruhi
proses kinerja perguruan tinggi. Rendahnya kontrol publik, yang dalam hal ini
mahasiswa dan masyarakat umum akan semakin menciptakan persaingan yang tidak
sehat. Jika kita melihat perjalanan pemilihan rektor, sangat minim sekali
kontrol internal yang secara serius mengawal pelaksanaan transisi kepemimpinan
lembaga tinggi ini. Mengapa penulis katakan sangat mungkin muncul persaingan
secara politis yang berdampak pada stabilitas pelayanan publik, karena minimnya
kontrol publik sehingga keleluasaan untuk bersaing secara tidak sehat terbuka
lebar.
Hal
penting yang cukup menjadi tanda tanya besar adalah minimnya transparansi data
faktor-faktor yang menyebabkan akreditasi lembaga mengalami penurunan. Sampai
detik ini, sangat susah diakses data-data yang secara terbuka memperlihatkan
penurunan akreditasi. Akses data tersebut setidaknya menjadi bahan evaluasi
bersama warga kampus untuk secara terbuka melihat apa saja yang menjadi
penyebab penurunan akreditasi. Namun, kejadian penurunan akreditasi lembaga ini
seolah-olah terkesan tertutup. Maka, sangat wajar sekali manakala opini yang
dibangun di publik memperlihatkan bahwa penurunan akreditasi erat kaitannya
dengan persaingan politik antar birokrat yang tengah berkompetisi dalam
pemilihan rektor.
Dari
ketiga sudut pandang diatas, cukup bagi kita untuk melihat sejauh mana kualitas
penyelenggaraan pendidikan di Univ. Brawijaya. Contoh-contoh yang penulis
hadirkan sebenarnya merupakan realitas yang kita lihat dan kita alami sehari-hari,
terutama pada sisi penyelenggaraan pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum jika
sarana dan prasarana, pelayanan publik, serta orientasi pembangunan yang masih
jauh dari kata memuaskan. Dan penulis harus memberikan pilihan secara bebas
bagi para pembaca, apakah penilaian akreditasi saat ini kepada Univ. Brawijaya
oleh BAN-PT sudah tepat atau tidak.
Memang
harus disadari bahwa penurunan akreditasi lembaga turut berpengaruh pada
alumni-alumni yang sedang mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan mensyaratkan
akreditasi universitas A bagi lulusan perguruan tinggi, namun ada juga
perusahaan yang mensyaratkan akreditasi A pada jurusan lulusan perguruan
tinggi. Sebenarnya menurut penulis, persoalan akreditasi ini bukan menjadi
sandungan/hambatan yang besar bagi mahasiwa pencari kerja. Sehingga sampai
menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran yang mendalam hanya karena takut tidak
memperoleh pekerjaan. Penulis ingin berbagi rasa optimis bahwa kesuksesan tidak
hanya sekadar diukur dari IPK dan akreditasi tinggi, melainkan sejauh mana
mahasiswa mampu mengasah potensi yang jauh lebih berpengaruh terhadap
kesuksesan mereka. Meskipun IPK dan akreditasi turut berpengaruh, namun bukan
berarti hal itu menjadi penghambat utama bagi lulusan mahasiswa untuk mencapai
sukses.
Mari
kita belajar dari apa yang sudah dialami saat ini. Sudah saatnya lulusan
mahasiswa lebih berpikir mandiri dan optimis menyambut dunia kerja. Bukankah
sudah banyak kita dengar banyak lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran,
tapi tidak sedikit juga yang kita lihat banyak lulusan perguruan tinggi yang
meraih kesuksesan dengan kemandirian yang mampu mereka ciptakan. Masihkan
berpangku tangan dan takut tidak dapat kerja hanya satu persoalan akreditasi?
Cukup ini menjadi catatan bahwa peran kita tidak sekadar untuk menuntut ilmu
saja, tapi harus tetap peka terhadap keadaan kampus kita tercinta. Semakin baik
kontrol segenap civitas akademika, semakin besar peluang kualitas
penyelenggaraan pendidikan tercapai. Kalau kualitas dan potensi diri kita baik,
tidak ada alasan bagi kesuksesan untuk menghindar. Sudah siap menjadi lulusan
terbaik?
jadi tahu status akreditasi pt ku
BalasHapusmakasih ya