![]() |
Karikatur: Ade/Perspektif |
Malang, PERSPEKTIF – Semenjak dikeluarkannya kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di orde
baru serta SK Dikti tahun 2002, organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak lagi
berada dikampus dengan tidak mendirikan sekretariat didalam kampus. Kebijakan
ini memicu sensitifitas dan stigma negatif yang hingga saat ini dilekatkan
kepada organisasi mahasiswa ekstra. Ditambah beberapa tindakan dari organisasi
mahasiswa ekstra yang dengan pergerakannya, demo, dan aksi, dinilai radikal dan
tidak peduli sekitar. Mahasiswa ekstra juga dikenal dengan gerakan politik
praktis.
Ahmad Dafiq
Ardiansyah, Mahasiswa Ilmu Politik yang aktif di organisasi ekstra kampus
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengatakan bahwa stigma negatif
bermula dari mereka yang belum mengenal latar belakang dan proses dari suatu
organisasi (22/9). “Yang mereka tahu bahwa jalur-jalur ini profesionalitas, dan
itu politik. mereka tidak tahu akar sejarah organisasi mahasiswa seperti apa,”
ujar pria kelahiran kediri ini.
Sensitifitas
pun semakin menguat ketika organisasi mahasiswa ekstra tampil di tiap aksi/demo
hingga pemilihan umum mahasiswa. “Gila jabatan, mengutamakan kepentingan
golongan, anarkis, arogan, eksklusif, brainwash ideologi, dan hal
negatif lainnya selalu ada di tiap agenda kampus yang berbau politik praktis”
ujar Dafiq menambahkan. Dafiq menambahkan FISIP sebagai fakultas yang mengkaji
ilmu sosial dan ilmu politik, tidak seharusnya menjadikan omek sebagai hal yang
harus dihindari. Meskipun akhirnya akan memilih untuk menghindari atau menjadi
anti organisasi, setidaknya memiliki alasan yang logis, bukan karena
ikut-ikutan dan berhenti hanya di tataran “tidak suka”. “Karena banyak yang
berpendidikan tetapi tidak terdidik secara moral, etika, dan politik,” ujar
bung Dafiq, sapaan khas kader GMNI.
Senada dengan
Dafiq, Jihadul Akbar Arrobani, Mahasiswa Hubungan Internasional yang aktif
sebagai Koordinator Penggerak Kampus di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) mengatakan bahwa alasan untuk menjadi pro atau bertolak belakang
haruslah jelas.
Terkait pelarangan masuk kampus, Adul memiliki pandangan sendiri
bahwa sebenarnya mahasiswa terkadang lupa bahwa organisasi mahasiswa ekstra
terlalu diasosiasikan kepada organisasi yang telah dikenal lama berkiprah
dikampus seperti HMI, GMNI, PMII, KAMMI, dan sebagainya. “Padahal forum atau
organisasi lain saya ambil contoh seperti Save Street Children atau Earth
Hour juga termasuk dalam organisasi ekstra dan ini gak fair,” tegas
Adul.
Dari beberapa
asumsi yang menegasikan organisasi mahasiswa ekstra, Imam Jumaedil mahasiswa
Ilmu Politik memiliki pandangan lain. Imam yang aktif di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sebagai ketua umum, menjelaskan bahwa asumsi tersebut pun bisa
bermula dari alasan personal, semisal karena ketidakpuasan, dan sebagainya yang
sebenarnya tidak ada alasan mendasar.
“Ditambah stigma konyol seperti ikut OMEK nanti dicuci otaknya, sekelas
mahasiswa mau menerima mentahan saja, mungkin mahasiswa yang sensitif ini yang
sebenarnya otaknya sudah dicuci,” gurau Mahasiswa asal Bone ini.
Gerakan Alternatif
Nanda
Pratama, Mahasiswa Hubungan In ternasional yang aktif sebagai Biro Komite Pusat
Front Mahasiswa UB (FM UB) mengatakan bahwa FM UB hadir sebagai gerakan
penyegaran alternatif baru yang aktif dalam mengadvokasi keadaan sosial. “FM UB
hadir sebagai kritikan kepada OMEK yang telah lama mapan didalam kampus. Hari
ini omek semakin terkotakkan dan mempersempit fungsi organisasinya, bahwa
ketika organisasi tidak memenangkan event atau agenda politik kampus
maka eksistensi mereka terancam. Itu kan paradigma yang sedang mengungkung
mahasiswa ekstra, hingga merasa ada kebuntuan-kebuntuan sendiri,” jelas Nanda.
Nano, sapaan akrab mahasiswa asal Surabaya ini menjelaskan bahwa tidak heran
ketika stigma dan sensitifitas kepada OMEK
ada dan dirasakan kehadirannya. “Organisasi Mahasiswa ekstra itu diciptakan
untuk tidak sedang berlomba-lomba dan berkuasa didalam kampus, tetapi berlomba
membantu Indonesia lebih sejahtera,” tambah pria bertubuh gempal tersebut.
Terkait
pengkotak-kotakan tersebut, Angela Ekinaginta, mahasiswa Ilmu Komunikasi
memiliki pandangan bahwa OMEK layaknya suatu suku yang terlalu etnosentrisme,
terlalu membanggakan golongannya.
“Ini PR
(pekerjaan rumah, red.) kita bersama, bahwa tidak ada yang salah dengan
organisasi ekstra, yang salah adalah bahwa tidak sadar kita ada di titik
kritis, gagal meraih duku-ngan massa luas,” jelas Nano menanggapi hal tersebut.
Dukungan massa luas dapat dilakukan dengan cara
yang menyeluruh, bukan hanya
kepada kader masing-masing, tetapi terbuka semisal membuka mimbar akademik,
sehingga minimal ada dukungan atau toleran ketika aksi. “Mari kita duduk
bersama, mengkoreksi bersama untuk lebih baik, bagaimana bisa lepas dari titik
kritis, jangan terjebak pada romantisme masa lalu yang dibanggakan, karena kita
tidak bisa lagi bergerak de-ngan cara lama,” ungkap Nano.
Selain itu,
menurut Nano tidak ada alasan untuk membenci OMEK atau mereka yang anti
terhadap OMEK, karena sebenarnya mahasiswa harusnya sadar dan memilih siapa
musuh bersama. “Beberapa kebijakan pemerintah yang menghalang-halangi
demokratisasi dalam kampus, mereka sebenarnya kontra kemajuan. Membatasi
aktifitas mahasiswa, mereka berarti anti demokrasi, dan hingga hari ini mereka
berhasil menciptakan mahasiswa yang terbungkam, tidak peduli lagi minimal
didalam kampus. Ketika OMEK cerdik membaca kondisi ini, musuh kita bukan sesama
organisasi, mari kita sadari bersama pemerintahan yang jelas-jelas dikangkangi
kapitalistik global adalah musuh bersama,” terang nano. Kepentingan membatasi
aktifitas organisasi yang dianggap ancaman, semakin memperjelas bahwa
pemerintah semakin jauh meninggalkan rakyat dan tidak ingin mahasiswa yang
kembali kritis menjadi batu sandu-ngan bagi langgengnya rezim pemerintahan.
“Maka sejarah perjuangan mahasiswa hanya menjadi sejarah yang akan diceritakan
saja, tidak pada kemudian sejarah yang menentukan posisi bangsa,” keluh Nano.
Kemudian
terkait dengan ge-rakan alternatif seperti FM UB, gerakan lain seperti anti OMEK
muncul karena stigma negatif yang berkembang. “Politik kampus seakan-akan
menjadi gelanggang resmi untuk organisasi mahasiswa yang satu dan yang lain,
plus teman-teman yang mengatasnamakan anti OMEK yang melakukan kiritikan bahwa
omek itu politis. Tetapi merekapun terjebak dalam aktifitas politik,” tutup
Nano. (mrs/ank)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar