Oleh: Nabila Rahma Nugraheni
Gambar Oleh Muhammad Alwin Alamsyah
|
Semangat
pagi kolega! Semoga keselamatan selalu tercurahkan untuk kita semua. Dan semoga
rezeki tidak enggan datang ke kantung
kita, karena jika enggan itu tandanya sudah gawat dan mengancam kedaulatan
umat. Sebelum itu marilah kita baca Al-Fatihah
bersama-sama teruntuk khususon birokrasi dan demokrasi pada umumnya, serta
birokrasi kampus dan demokrasi kampus pada khususnya. Alfaatihan… Kemudian Al-Fatihah kedua marilah kita bacakan untuk saudara dan keluarga
kita, para pejabat lembaga keMAHAsiswaan kampus dan lembaga keMAHAsiswaan
lainnya. Semoga hati dan pikirannya tidak lagi sering-sering mengalami
malfungsi. Al-Fatihah…
Ketiga, marilah kita bacakan untuk kedua orang tua kita, semoga tidak pernah
berhenti mendoakan kita. Al-Fatihah….
Yang keempat untuk
saudara-saudara kita di pinggiran jalan raya, di bawah kolong jembatan, di
desa-desa, di kampung-kampung,
yang belum dapat merasakan kemerdekaan. Semoga kemerdekaan lekas menjemput
mereka. Dan Al-Fatihah
terakhir marilah kita bacakan untuk diri kita sendiri. Semoga pikiran, hati,
dan syahwat kita tetap pada koridornya. Alfaatihah…
Akhir-akhir ini semakin banyak
manusia terjangkit virus yang sangat berbahaya. Hingga detik ini masih belum
ditemukan antibiotik dan obatnya, jadi sangatlah wajar kian lama kian merambah
dan menjalar. Virus ini bernama communelia
hepatica orbanemia. Yaitu virus penaklukan ingatan dan doktrinasi orba yang
menyerang hati manusia dengan gerilya. Jika menemukan gejala-gejala seperti
meriang ketika mendengar kata KEBEBASAN, menggigil ketika mendengar kata
KEBEBASAN, dan tidak sadarkan diri ketika mendengar kata KEBEBASAN. Maka jangan
segera menghubungi dokter terdekat, tetapi segera cari tempat ruqiyah terdekat.
Karena sesuai dengan hasil diagnosa saya, yang meriang, menggigil, dan tidak sadarkan diri bukanlah manusianya.
Tetapi energi negatif pembawa virus communelia
hepatica orbanemia tadi alias syaitan iblis dan sekawanannya.
Ironisnya virus communelia hepatica orbanemia telah terindikasi menginfeksi
manusia-manusia akademis di dalam institusi-institusi pendidikan formal. Yang
mana sangat mengancam perkembangan sel-sel otak manusia muda dan jika tidak segera
dihilangkan akan menyebabkan terbunuhnya insan akademis, pencipta, dan pengabdi
untuk kemaslahatan umat manusia secara masiv. Salah satu indikator menjalarnya
virus ini saya temui dalam fenomena di sebuah kampus yang tidak perlu
disebutkan namanya. Kampus ini sudah cukup terkenal dengan jumlah
manusia-manusianya yang memadati kota. Yaitu fenomena pelarangan pemutaran film
dan diskusi film Alkinemokiye dan Samin vs Semen 1 Mei 2015 lalu yang diadakan oleh lembaga pers mahasiswa di salah
satu fakultas yang cukup tua di kampus ini. Fenomena ini dengan cepatnya
menyebar ke warung-warung kopi, media massa, diskusi-diskusi kampus di
kota-kota lainnya, dan sebagainya hal ini disebabkan karena telah terunggahnya
sebuah video yang berisikan perdebatan perizinan pelaksanaan acara antara pihak
pers mahasiswa dengan pihak dekanat. Yang ironisnya, di dalam video tersebut
terdapat kalimat-kalimat yang diucapkan oleh perwakilan dekanat yang semakin
jelas adanya indikasi infeksi virus communelia
hepatica orbanemia. Disampaikan bahwa film tersebut bahwa lebih banyak
mengandung unsur profokatif daripada informatifnya, dipertanyakan tentang apa
urgensinya sehingga pemutaran film harus tanggal 1 Mei 2015, disampaikan juga bahwa masih banyak film-film yang
mengandung lebih banyak unsur akademis dibandingkan film Alkinemokiye.
Entahlah, saya sendiri kurang paham tentang logika berpikir dari
pernyataan-pernyataan tersebut. Justru timbul pertanyaan, apakah bapak dosen
yang mengeluarkan pernyataan tersebut benar-benar telah menonton film yang
disebutnya provokatif itu atau hanya sekedar berargumen berdasarkan instruksi
yang tanpa filtrasi? Alangkah baiknya jika disimpulkan di kepala masing-masing.
Sehubungan dengan penyikapan atas
fenomena ini, Rabu pagi, 6 Mei 2015 sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam
Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) melakukan aksi di dalam kampus.
Tujuan dari aksi ini sebenarnya sederhana, untuk menemukan solusi dari
permasalahan yang sungguh meresahkan ini. Hal ini disebabkan karena fenomena
pembubaran pemutaran film dan diskusi ini telah mengancam kemerdekaan
manusia-manusia akademis dalam proses pencarian kebenaran ilmiah bahkan telah
mencederai Undang-Undang kebebasan berpendapat Nomor.40 Tahun 1990 yang
sekaligus juga Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 tentang kebebasan berserikat
dan berkumpul. Di dalam aksi AMPD juga terhimpun kawan-kawan pers mahasiswa
se-Malang Raya, hal ini merupakan sebuah tanda bahwa, tiang demokrasi yang ke
empat yaitu Kebebasan Pers juga telah terancam. Oh sungguh ironisnya efek dari
virus communelia hepatica orbanemia ini.
Semakin jauh mengikuti fenomena ini,
semakin banyak fakta yang memperkuat akan bahayanya virus communelia hepatica orbanemia yang hingga saat ini masih belum
ditemukan antibiotik dan obatnya. Pelayangan surat panggilan anggota pers
mahasiswa beserta orang tua yang dikeluarkan oleh dekanat menjadi salah satu
hal yang saya anggap janggal dan harus dipertanyakan. Beberapa hari setelah
pembubaran berlangsung, pihak dekanat mengeluarkan surat panggilan dengan dalih
evaluasi kegiatan akademik kepada setiap anggota pers mahasiswa pada fakultas
itu berikut juga orang tua mereka. Dari surat panggilan tersebut apabila
dipikir dengan nalar sehat, cenderung mengarah pada proses yang diskriminatif.
Bagaimana tidak, sudah seharusnya sebuah evaluasi akademik tidak hanya
dilakukan pada sekelompok mahasiswa saja. Surat panggilan tersebut seakan-akan
mahasiswa yang terlibat dituduh memiliki prestasi akademik di bawah standar
sehingga memerlukan evaluasi dan pembenahan individu. Yang lebih mengejutkan
adalah, ternyata ketika pemanggilan berlangsung, mahasiswa tidaklah berhadapan
dengan pengevaluasi akademik, melainkan mendapatkan introgasi yang meminta
pengakuan atas kesalahan pelanggaran UU ITE No.28 karena telah mengunggah dan
menyebar luaskan video rekaman perbincangan dengan pihak dekanat perkara izin
acara.
Bagaimana meletakkan sudut pandang
atas fenomena ini memang saya kembalikan terhadap yang membaca dan mungkin
menyaksikan serta mengalami secara langsung. Yang jelas, kehidupan dalam kampus
yaitu tempatnya penempaan manusia-manusia akademis haruslah dibentuk kondisi
yang membangun dan tidak mengekang. Karena selama ini tanpa kita sadari
kehidupan mahasiswa semakin ditenggelamkan dalam suatu kebudayaan bisu. Apabila
meminjam pandangan dari Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas,
bahwa sebenarnya pendidikan harus berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk
mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yang sedang
berlaku dan menghasilkan kesesuaian terhadapnya, atau ia menjadi praktek
kebebasan. Yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif
dengan realita, serta menemukan bagaimana cara berperan serta untuk mengubah
dunia mereka. Maka seharusnya sebuah lembaga pendidikan tinggi haruslah
menyediakan lahan dan akses untuk praktek kebebasan berkarya dan berekspresi.
Sehingga tidak lagi kampus-kampus mencetak generasi-generasi robot yang
bergerak dibawah kendali sistem sampai mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka
sendiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut aksi yang dilakukan AMPD untuk terus
menggiring penyelesaian fenomena ini tidak berhenti dengan orasi-orasi saja.
Akhirnya setelah beberapa lama berjuang dan menunggu akhirnya menemui titik
terang untuk jalan mediasi dengan pihak dekanat. Dalam forum mediasi ini hanya
10 perwakilan mahasiswa yang diperbolehkan masuk ke dalam ruang berAC yang
bentuknya seperti ruang rapat paripurna anggota dewan. Sepuluh mahasiswa bertemu
dengan 7 petinggi fakultas dalam proses mediasi ini, yaitu Pembantu Dekan (PD)
1, PD 2, dan PD 3, beserta staf tata usaha. Tidak berjalan lama, hanya sekitar
45 menit saja. Pertama-tama lembaga pers fakultas yang bersangkutan
menyampaikan kronologi pra pemutaran film dan diskusi hingga kronologi pasca
pembubaran pemutaran dan diskusi film. Tuntutan-tuntutan berupa pelanggaran
terhadap beberapa pasal seperti UU No.20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat (1) dan UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pasal 1 ayat
(1), yang menyebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta
keterampilan yang diperlukan dirinya , masyarakat, bangsa, dan negara.”
Dapat saya simpulkan dari proses
mediasi di dalam ruangan berAC tersebut, proses pra pemutaran film dan diskusi
film Alkinemokiye dan Film Samin vs Semen disibukkan dengan perkara sulitnya
proses perizinan kegiatan, padahal waktu mengurus perizinan tersebut sebenarnya
sudah mulai jauh-jauh hari sebelum kegiatan. Terhambat oleh pihak-pihak yang
sangat sulit ditemui, perizinan batas waktu jam malam, hingga mempertanyakan
perkara substansi film yang akan diputar, hal-hal inilah benang merahnya. Ada
beberapa hal yang dirasa menggelitik, pihak lembaga pers mahasiswa yang akan
menyelenggarakan kegiatan telah mengantongi izin dari pihak rektorat, tetapi
izin dari pihak dekanat tak kunjung didapatkan. Hal inilah yang menjadi alasan
dibubarkannya pemutaran dan diskusi film pada tanggal 1 Mei 2015 malam. Akhirnya pemutaran film tidak dapat berlangsung
hingga selesai dan terpaksa harus bubar. Pasca pembubaran, ternyata ada surat
panggilan yang ditujukan kepada setiap anggota pers mahasiswa beserta orang tua
untuk perihal evaluasi pendidikan mahasiswa yang dilayangkan oleh Pembantu
Dekan 1. Saya pun kurang paham bagaimana relevansinya surat panggilan ini atas
pembubaran pemutaran film oleh lembaga pers mahasiswa fakultas. Ketidakpahaman
ini masih tidak bisa terjawab hingga berakhirnya proses mediasi.
Mengapa demikian? Setelah pihak
lembaga pers membacakan kronologi, tuntutan, dan rekomendasinya, pihak fakultas
hanyalah menyimpulkan dalam sebuah kalimat yaitu “misskomunikasi”. Ya, proses
pemanggilan anggota lembaga pers mahasiswa beserta orangtua juga merupakan
rangkaian misskomunikasi. Pernyataan tersebut jelas bukanlah sebuah
penyelesaian masalah yang melegakan. Dengan dalih menunggu Pak Dekan yang
sedang berada di luar negeri dan para pembantu dekan yang terlihat gugup serta
tidak banyak bicara dan tergesa-gesa sehingga terkesan memang ada sesuatu yang
salah di sini. Setidaknya telah ada jaminan dari petinggi-petinggi fakultas
yang hadir dalam forum mediasi tersebut, bahwa tidak akan ada lagi
kejadian-kejadian seperti ini. Dan pihak fakultas bersedia untuk memfasilitasi
forum-forum diskusi semacam pemutaran film Alkinemokiye dan Samin vs Semen
untuk kedepannya.
Untuk itu marilah kita berdoa
bersama-sama untuk menggiring proses birokrasi dan demokrasi yang terkena virus
communelia hepatica orbanemia di
sebuah institusi bernama kampus ini agar apabila mati, maka jangan sampai mati
dengan tenang. Dan apabila selamat dari masa kritis, semoga lekas sembuh dan
kita giring bersama masa-masa pemulihannya. Sebuah permintaan lagi yang semoga
sampai pada alamat tujuannya, “Masihkah anda berniat membatasi langkah kami
yang ingin terus berjuang untuk masyarakat nanti dengan perkara-perkara yang
sungguh tidak penting seperti ini, Pak? Kami anakmu malu, Pak. Di luar sana
masyarakat sudah tidak kuat lagi lama-lama menunggu kami yang ternyata sedang
disibukkan dengan birokrasi dan etika demokrasi. ”
NB: Virus communelia hepatica orbanemia tidak akan
ditemukan dalam buku atau literasi apapun. Communelia, yang diambil dari bahasa
latin pertengahan communia yang berarti kehidupan pergerakan yang mengutamakan
kebersamaan. Hepatica yang merupakan nama biologi dari hati. Orbanemia, berasal
dari kata Orba(orde Baru) diberikan nemia sebuah metafor nama penyakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar