Rabu, 10 September 2014

Pertemuan di Kota Hujan



 
Kota hujan. Kota yang seperti kota dalam puisi, kota dalam dongeng. Hujan selalu berbuah seperti tumbuhan setiap hari. – Rizkia Nur Jannah, 2014




Aku menunggu di suatu siang, di per­empatan pinggiran kota, namaku sa­sha. Saat ini pertengahan bulan April. April yang bukan lagi milik musim kema­rau, bukan pula milik musim hujan, semua bisa memiliki, tergantung siapa yang lebih dulu bagun pagi. Cahaya matahari tump­ah tanpa tujuan. Udara seperti senyawa logam. Kadang kita tak bisa membedakan mana asap kendaraan bermotor, mana rasa kesal. Semua terasa sama getirnya dikota yang harusnya berhawa dingin ini.

Dari sela-sela dedaunan kulihat motor Praja mulai mengarah menuju­ku, tenang, seperti angin dini hari. Praja tersenyum, aku tersenyum, lalu tangannya dengan sigap mengambil helm untukku.

Aku masih sering malu-malu un­tuk memegang erat lingkar pinggangnya, Praja mungkin saja mengerem mendadak, atau berkecepatan lebih dari batas normal kendaraan roda dua dalam kota. Asal kau tahu, ketika di jalan raya, orang-orang di kota ini akan lupa segala sesuatu, bahkan dirinya sendiri. Tapi dia tak pernah ingin seperti lagu-lagu pop yang mengeksplora­si rasa sakit dan penderitaan. Katanya, meski yang dia punya hanyalah rongsokan besi simbol prestise rendahan kaum ur­ban, tapi Praja bangga bisa membonceng­ku dengan hasil jerih payahnya.

Baru saja aku merantau dikota ini. Kota hujan. Kota yang seperti kota da­lam puisi, kota dalam dongeng. Hujan se­lalu berbuah seperti tumbuhan setiap hari. Praja bilang langit disini seperti warna kopi susu. Sebelum berangkat dia sempat menerka-nerka, apakah akan kita petik hujan lagi hari ini ? dia harus terlebih dulu melintasi jajaran rumah sepanjang pinggir rel kereta api, deretan pohon pisang, juga perlintasan tempat mobil dan sepeda mo­tor menyebrang. Kembali melewati gapura selamat datang, sebelum akhirnya menuju rumah berdinding ungu, menjemputku.

Aku khawatir kita akan keha­bisan tiket bisokop jika tak buru-buru, tapi siapa yang mau disalahkan atas kema­cetan kota ini? kendaraan sudah seperti hewan ternak yang selalu beranak pinak. Orang-orang di kota ini begitu mendam­bakan kota yang maju seperti kota-kota dunia pertama, namun tingkah mereka? Semakin hari semakin primitif saja. Ras­anya tak perlu berkelu kesah pada pemer­intah, mereka sudah terlalu kasihan untuk selalu disalahkan oleh setumpuk keluhan.

Praja kembali memacu motor, menyelinap di antara sela mobil-mobil yang ditawan kemacetan. Hal yang dibenci para pen­gendara mobil itu, begitupun dia.

Sebuah mall megah dan futur­istik. Lagi-lagi simbol tentang tentang seberapa jauh kita telah menghancurkan kota ini. Setiap melihat bangunan-bangu­nan megah yang menjulang, Praja sering menceritakan tentang bayangannya, ju­taan tahun kemudian ketika manusia su­dah berganti generasi atau bahkan telah punah nanti, mungkin gedung-gedung ini masih tetap ada, meski hanya puing-pu­ingnya. Tertimbun tanah dan debu-de­bu asteroid. Lalu manusia masa depan akan menemukan bangunan itu dan akan terkagum-kagum melihatnya. Mereka berpikir bagaimana orang primitif bisa membuat bangunan semegah ini. Mereka akan menggali, meneliti, menduga-duga, membuat hipotesis, mengenai bangunan artefak yang mereka temukan. Apakah menggunakan ilmu sihir atau matematika. Persis seperti apa yang kita lakukan pada saat meneliti sisa-sisa bangunan Romawi atau makam-makam raja Mesir kuno.

Setelah motor Praja dititipkan di parkiraan basement, kita menuju bi­oskop di lantai paling atas. Musim liburan, orang berlalu lalang, berbondong-bon­dong menuju pusat perbelanjaan. Ber­pasang-pasang kekasih, berpuluh-puluh keluarga, beberapa mahasiswa yang mem­hambur-hamburkan uang bapaknya. Me­mamerkan seberapa glamour penampilan mereka, memamerkan betapa mesranya mereka dengan pasangannya, memamer­kan betapa bahagianya mereka berada di tempat yang megah ini, siang ini. Mall akan selalu mengabdi pada mereka yang haus akan hiburan, kemewahan, dan para pemuja konsumerisme. Puluhan butik dan departement store berjajar di setiap lantai, tempat bermain anak-anak, toko buku, restoran keluarga yang menawar­kan masakan tradisional maupun fast food Amerika.

Aku salah memasuki antrian pembelian tiket, ketika keluar antrian, dia telah terlebih dulu membeli tiket. Aku hanya melempar senyum sekilas dan tak ingin memperdebat siapa yang harusnya membeli.

Kita sampai di bioskop tak ter­lambat, aku sempat terdiam sejenak mendengar lagu bagus yang diputar pada sebuah trailer film. Yang dibintangi oleh Chris Evant “lagunya bagus” kataku, “lagu siapa sha?” tanya Praja, “aku tak tahu tapi aku suka”, belakangan aku tau dari inter­net itu adalah sebuah lagu dari sebuah penyanyi John Lennon berjudul Written. Film belum juga di mulai. Kita membicar­akan segala sesuatu. Tentang tugas kuliah yang tidak ada habisnya. Tentang kebi­asaan aneh masing-masing teman kita. Praja lalu bercerita tentang apa yang bia­sa dilakukan keluarganya ketika mereka pulang kampung ke Jawa tengah. Ketika beberapa keluarga dari perantauan telah berkumpul, mereka akan mengundang wayang kulit untuk tampil semalam sun­tuk. Orang-orang tua akan menyimak den­gan khidmat saat cerita berlangsung, dan akan terpingkal-pingkal saat para punak­awan melawak. Dia lebih sering bingung, karena tidak mengerti apa yang dibicara­kan oleh dalang. Praja memilih tidur saja. Aku tertawa beberapa detik lalu men­curi pandang ke arah wajahnya yang sa­mar-samar terkena cahaya layar bioskop. Aku suka saat-saat seperti ini, kita duduk bersebelahan, kedekatan hanya dibatasi sisi kursi bioskop, semangat menyaksikan film dimulai. Tertawa lepas tanpa alasan yang jelas.

Film ini bercerita tentang peng­khianatan seorang polisi yang megambil setting di Indonesia, aku menutup mata beberapa kali ketika ada adegan pem­bunuhan. Dan beberapa kali pula Praja meletakkan tangannya di kepalaku.

Film usai. Orang-orang ber­hamburan keluar, sementara aku masih malas-malasan di kursi. Kita meninggal­kan bungkus pop corn yang kita beli sebe­lum memasuki bioskop tadi. Begitupun dengan penonton yang lain.

Keluar dari bioskop, kita mencari tempat makan. Setelah keliling-keliling akhirnya kita memutuskan untuk makan di sebuah restoran dengan konsep kum­pulan warung tradisional. Aku memesan soto Lamongan dengan teh hangat sedang kamu memilih nasi goreng ikan teri den­gan teh kemasan plus es batu. Restoran ini tak cukup ramai. Aku bilang aku suka den­gan restoran berkonsep klasik seperti ini, banyak gambar-gambar bernuansa vin­tage yang di pasang di dinding, membuat aku nyaman seperti di desa yang tenang.

Toko buku selalu menjadi tem­pat favorit kita ketika jalan-jalan berdua, meski beberapa minggu terakhir ini mi­nat bacaku mengendur. Kita tetap memu­tuskan untuk mengunjunginya. Di dalam toko buku tersimpan kisah-kisah horror, picisan, roman, kisah budayawan, para detektif, juga cerita superhero yang lucu. Kita berpencar, saling menyesatkan diri diantara jajaran rak dan tumpukan buku. Aku mencari buku untuk anak-anak kecil didikanku. Mereka baru berumur belasan tahun tapi novel-novel remaja yang aku punya sudah habis di lahapnya. Bukan karena dia ingin lebih dulu dewasa, tapi karena dia kehabisan bahan bacaan yang cocok untuk anak seusianya. Kita seper­ti main petak umpet, labirin-labirin buku yang menyekat. Kita sempat saling men­cari, sebelum akhirnya saling menemu­kan. Kamu mendapat flashdisk berwarna merah dan aku mendapat dua buku pet­ualangan untuk anak-anak yang beranjak remaja.

Hari telah gelap. Lampu-lampu telah dinyalakan. Matahari telah dimati­kan. Sebagian datang, sebagian yang lain harus pergi. Kota ini terus berjalan, tak boleh sedikitpun mati. Kamu mengantar­kanku menuju kos-kosan, jalan yang men­dadak benar-benar tak ku pahami. Langit memberi isyarat, malam hampir hujan. Kamu meninggalkanku di kota hujan sendirian.

Beberapa tetes hujan menyentuh punggung tanganku. Aku menutup pagar besi, kemudian tersenyum sendiri.



Bersambung….

*Rizkia Nur Jannah: Lahir di Lamongan, 28 Februari 1993, Pimpinan Umum LPM Perspektif, mahasiswi Ilmu Komunikasi UB 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar