Selasa, 09 September 2014

Kita Bukan Matahari


Hari ini mentari datang dan tenggelam.Tapi besok, ia akan datang lagi 
– Sukma Hanifani, 2013



Ini sudah hari ke berapa kita terduduk di sini setiap sore menjelang, ya, Nin? Menikmati hembusan angin yang memainkan rambut ikalmu. Memainkan ombak yang bermanja di telapak kakimu. Dan entah apa lagi yang kau nikmati di sini sebenarnya. Aku sendiri tak yakin kau menikmati semua yang kurasakan ini, Nin. Aku sendiri tak yakin kau masih be­nar-benar di sini hingga saat ini.
Masihkah layak kukatakan hing­ga sore ini kita masih bersama, sementara sejak tadi tak ada kata-kata yang kau ucap? Masihkah pantas kuanggap ini adalah waktu untuk kita, sementara aku tak per­nah sekalipun kau pandang? Ah, Ninda. Waktu-waktu berlalu, dan hanya seperti ini yang berlaku. Kau duduk di samping­ku. Menatap lurus lautan biru. Membisu. Tanpa pernah menatapku. Kemudian be­ranjak menjauh saat semua semakin kela­bu.
Adakah sesuatu yang membuat­mu gundah akhir-akhir ini, Nin? Aku tak juga berani mengatakannya. Meski be­nar-benar ingin sebenarnya.
Entah apa yang menahanku un­tuk bertanya. Entah apa yang memaksaku untuk tetap diam. Entahlah, Nin. Kadang, berada di sampingmu saja sudah mem­buatku cukup. Lebih dari cukup bahkan. Meski kau masih juga terdiam, Nin. Masih juga tak berpaling untuk menatapku.
Aah, aku iri pada lautan yang ter­us kau tatap itu. Andai aku bisa membaca pikiranmu, pasti sudah kulakukan apapun untuk membuatmu berhenti begini pada­ku, Nin. Andai.
Tapi, aku cukup bersyukur sehar­usnya. Di antara sekian banyak kawanmu, justru aku yang ada di sini bersamamu. Bolehkah aku berbangga, Nin? Ketika dari sekian banyak orang yang menyayangimu, justru aku yang kau minta untuk datang dan menemanimu? Aah, sungguh, itu hadiah tersendiri untukku rasanya, Nin.
Ya, sejak menerima pesanmu be­berapa waktu lalu, aku menjadi khawatir  atasmu, Nin. Entah apa sebabnya. Aku ha­nya tahu, pesan singkatmu yang memint­aku pulang itu adalah titah yang tak bisa terbantah. Aku hanya tahu, sesuatu terjadi padamu, dan aku harus ada di sampingmu. Hanya itu yang aku tahu, Nin. Selebihnya, hanya di awang-awang atas keraguan dan ketidak tahuanku. Untuk bisumu. Untuk lakumu. Untuk hadirku.
“Aku pernah bertanya mengapa Tuhan mempertemukanku pada orang-orang baru yang pada akhirnya akan pergi atau kutinggalakan, Bay,” katamu tiba-ti­ba. Aku sedikit kaget mendengarnya. Se­olah itu hanya suara anganku yang diter­bangkan angin di dekat telinga. Bolehkah aku tetap diam dan mendengarkan kelan­jutan kisahmu, Nin?
“Aku pernah bertanya mengapa kita harus mengucapkan ‘Hai’ pada se­seorang yang bahkan kepergiannya tak pernah dengan kata ‘Selamat tinggal’?” Ninda, apa yang sedang kau pikirkan, sebenarnya? Aku masih berusaha mener­ka alur pembicaraanmu, Nin.
“Sampai pada akhirnya Tuhan meminta Bapakku pulang, Bay. Memint­anya tak lagi di sampingku. Memintanya tak lagi bersamaku. Aku semakin tak men­gerti apa mau Tuhanku.” Gadis ini menun­duk, sembari merapikan poninya yang dimainkan angin. Aku masih menatapnya. Masih menerka-nerka arah pembicaraan­nya. Tapi, sosok yang biasa dipanggilnya bapak itu menghampiri ingatanku tiba-ti­ba.
Sebuah prosesi pemakaman be­berapa bulan lalu harus dihadiri Ninda dengan penuh tekanan. Sebuah kecela­kaan mendadak menghilangkan semua tanda-tanda kehidupan dari sosok yang menjadi jagoannya selama ini. Aku masih ingat, Ninda masih sempat usil kepada­ku beberapa menit sebelum kabar itu di dengarnya lewat telepon. Aku juga masih ingat, pucat pasi wajahnya sepanjang per­jalanan kami ke rumahnya. Aku masih in­gat betul itu. Tapi, setelah sebuah beasis­wa pertukaran pelajar memintaku untuk pergi beberapa hari setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kisahnya tentang ini. Aku tak pernah lagi mendengar tu­turnya tentang ini. Adakah sesuatu yang terjadi selama ini dan aku tak tahu, Nin?
“Aku pernah memimpikan Bapa­klah orang pertama yang kusodori ijazah saat gelar sarjana kusandang, Bay. Bapa­klah orang pertama yang kuimpikan ber­kata bangga atas segala capaianku. Bah­kan, kadang aku bermimpi Bapaklah yang mengantarkanku pada laki-laki pilihanku kelak.”
“Bapak pasti sudah tenang di sana, Nin,” aku berharap kata-kata ini membantumu, Nin. Tapi kau malah tersenyum. Senyum pertamamu setelah beberapa hari kita berdiam di sini.
“Akhir-akhir ini aku memilih menghabiskan soreku di sini bersamamu, Bay. Bukan karena apa. Ini adalah tempat favorit bapak menghabiskan akhir pekan­nya dulu. Tempat bapak duduk terdiam setelah beberapa saat menertawakanku yang bermain ombak. Tempat ini, penuh kenangan bersama ibu katanya.” Suara hembusan nafas dari gadis di sebelahku ini terdengar begitu berat. Adakah yang menyesakkan dadamu, Nin?
“Kuliahku usai sebentar lagi, Bay. Dan semakin rajin kukerjakan tugas akh­irku, semakin aku mengingat bapak dan mimpi-mimpiku.”
“Aku datang ke sini dengan hara­pan akan mendapat ketenangan seperti yang bapak rasakan setiap kali mengajakku kemari. Setiap kali sosok ibu dirindukann­ya berhari-hari. Tapi, kau lihat jejak-jejak kaki mereka itu, Bay? Lihat, dalam seke­jap, ombak menghapusnya. Pernah kau coba untuk berdiri lagi di sana? Sekedar untuk menunggu ombak itu kembali, na­mun pada kenyataannya, ia tak juga menyapamu karena lautan tengah surut? Kau bisa rasakan angin yang memainkan ram­butmu itu, Bay? Rasakan. Kau tak pernah bisa menggenggamnya, bukan? Kau tak bisa memintanya untuk datang atau pergi sesuai impimu, bukan?
Aku tak mengerti, kenapa Bapak suka sekali mengajak ibu kemari sema­sa hidup mereka dulu. Aku tak mengerti, kenapa Bapak masih juga suka mengajak­ku kemari. Padahal berada di sini justru membuat semuanya terasa terlalu mudah untuk datang dan pergi untuk meninggal­kan. Padahal berada di sini justru mem­buat semuanya terasa lebih mudah untuk membuatmu merasa sendirian.”
“Dan semua rasa kehilangan itu semakin terasa setiap kali jingga warnai lautan, Bay. Setiap kali matahari berada diperbatasan, dan seolah dalam sekejap ia hilang. Seolah lupa seharian ini ia mem­buat banyak kulit menghitam karena si­narnya. Seolah lupa betapa mesranya ia dengan pagi beberapa saat lalu. Tapi, men­gapa pagi tak pernah membenci mataha­ri yang meninggalkannya dalam malam? Bahkan senja tak pernah menahan mata­hari untuk terbenam,” racaumu panjang lebar, Nin. Tumpahkan, nak. Luapkan saja.
“Akhir-akhir ini aku baru tahu, Bay. Mungkin demikian pula yang bapak lakukan. Mungkin memang kisahku bersa­ma Bapak telah usai. Sudah waktunya ter­benam jika itu matahari. Sudah waktunya berganti, bila itu hari.”
Aku mulai mengerti apa yang kau bicarakan, Nin. Aku mulai mengerti apa yang kau rasakan. Sedalam itukah rasanya kehilangan mereka? Sesepi itukah rasanya sendiri sementara tugas akhir juga harus segera diakhiri?
“Tapi kita bukan matahari, Nin,” tuturku lemah. Kenapa seolah aku yang menyerah, ya? Tapi ..
“Kita bukan matahari yang bisa datang dan pergi setiap hari. Kita bukan matahari yang setelah terbenam ia akan kembali terbit. Kau tahu, bapak tak akan kembali meski pagi sudah berganti.”
“Kau benar, Bay. Itu pun pertan­yaan yang buatku diam beberapa hari ini di sini. Tapi, sepertinya bukan itu yang bapak ingin sampaikan padaku. Kau tahu kan, Bay, meski esok ia datang lagi, tak pernah dengan kisah yang sama dia men­yapa.” Aku mengernyitkan dahi menden­gar racauanmu yang ini, Nin. Jika kita bukan matahari, lalu apa yang ingin bapak sampaikan?
“Kupikir, justru karena kita bu­kan matahari, kita bisa memilih untuk datang atau pergi. Kita bisa memilih un­tuk tinggal atan meninggalkan. Untuk mengungkapkan atau menyembunyikan. Untuk berdiam atau mengambil tindakan. Untuk mengawali atau menanti. Kita bisa memilih untuk terbit atau terbenam, Bay.”
Aku terdiam untuk racauanmu yang ini, Nin. Satu sisi, aku berbangga atas orang tuamu yang memiliki gadis setegar dirimu. Aku tau dirimu tengah terjatuh dalam kesendirian. Tapi, dalam kesendi­rian itu pula engkau mengarang. Aku bangga atas hal ini untukmu, Nin. Meski di sisi lain, Nin, aku mulai mempertanyakan, bolehkah aku berhenti menanti dan men­gawali satu kisah baru denganmu? Boleh­kah aku berhenti menyembunyikan semua ini dan menyampaikannya padamu, Nin?
“Hari sudah gelap, Bay. Ayo, kita pulang.”
“Oh, eh, iya. Yuk!” Mungkin memang belum waktunya kisah kita terbit ya, Nin.


*Sukma Hanifani: 11 Februari 1993, anggota Divisi Sastra LPM Perspektif, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar