Hari ini mentari datang dan tenggelam.Tapi besok, ia akan datang lagi
– Sukma Hanifani, 2013
Ini sudah hari ke berapa kita
terduduk di sini setiap sore menjelang, ya, Nin? Menikmati hembusan angin yang
memainkan rambut ikalmu. Memainkan ombak yang bermanja di telapak kakimu. Dan
entah apa lagi yang kau nikmati di sini sebenarnya. Aku sendiri tak yakin kau
menikmati semua yang kurasakan ini, Nin. Aku sendiri tak yakin kau masih benar-benar
di sini hingga saat ini.
Masihkah layak kukatakan hingga sore
ini kita masih bersama, sementara sejak tadi tak ada kata-kata yang kau ucap?
Masihkah pantas kuanggap ini adalah waktu untuk kita, sementara aku tak pernah
sekalipun kau pandang? Ah, Ninda. Waktu-waktu berlalu, dan hanya seperti ini
yang berlaku. Kau duduk di sampingku. Menatap lurus lautan biru. Membisu.
Tanpa pernah menatapku. Kemudian beranjak menjauh saat semua semakin kelabu.
Adakah sesuatu yang membuatmu gundah akhir-akhir ini, Nin? Aku tak juga
berani mengatakannya. Meski benar-benar ingin sebenarnya.
Entah apa yang menahanku untuk
bertanya. Entah apa yang memaksaku untuk tetap diam. Entahlah, Nin. Kadang,
berada di sampingmu saja sudah membuatku cukup. Lebih dari cukup bahkan. Meski
kau masih juga terdiam, Nin. Masih juga tak berpaling untuk menatapku.
Aah, aku iri pada lautan yang terus
kau tatap itu. Andai aku bisa membaca pikiranmu, pasti sudah kulakukan apapun
untuk membuatmu berhenti begini padaku, Nin. Andai.
Tapi, aku cukup bersyukur seharusnya.
Di antara sekian banyak kawanmu, justru aku yang ada di sini bersamamu.
Bolehkah aku berbangga, Nin? Ketika dari sekian banyak orang yang menyayangimu,
justru aku yang kau minta untuk datang dan menemanimu? Aah, sungguh, itu hadiah
tersendiri untukku rasanya, Nin.
Ya, sejak menerima pesanmu beberapa
waktu lalu, aku menjadi khawatir atasmu, Nin. Entah apa sebabnya. Aku hanya
tahu, pesan singkatmu yang memintaku pulang itu adalah titah yang tak bisa
terbantah. Aku hanya tahu, sesuatu terjadi padamu, dan aku harus ada di
sampingmu. Hanya itu yang aku tahu, Nin. Selebihnya, hanya di awang-awang atas
keraguan dan ketidak tahuanku. Untuk bisumu. Untuk lakumu. Untuk hadirku.
“Aku pernah bertanya mengapa Tuhan
mempertemukanku pada orang-orang baru yang pada akhirnya akan pergi atau
kutinggalakan, Bay,” katamu tiba-tiba. Aku sedikit kaget mendengarnya. Seolah
itu hanya suara anganku yang diterbangkan angin di dekat telinga. Bolehkah aku
tetap diam dan mendengarkan kelanjutan kisahmu, Nin?
“Aku pernah bertanya mengapa kita
harus mengucapkan ‘Hai’ pada seseorang yang bahkan kepergiannya tak pernah
dengan kata ‘Selamat tinggal’?” Ninda, apa yang sedang kau pikirkan,
sebenarnya? Aku masih berusaha menerka alur pembicaraanmu, Nin.
“Sampai pada akhirnya Tuhan meminta
Bapakku pulang, Bay. Memintanya tak lagi di sampingku. Memintanya tak lagi
bersamaku. Aku semakin tak mengerti apa mau Tuhanku.” Gadis ini menunduk,
sembari merapikan poninya yang dimainkan angin. Aku masih menatapnya. Masih
menerka-nerka arah pembicaraannya. Tapi, sosok yang biasa dipanggilnya bapak
itu menghampiri ingatanku tiba-tiba.
Sebuah prosesi pemakaman beberapa
bulan lalu harus dihadiri Ninda dengan penuh tekanan. Sebuah kecelakaan
mendadak menghilangkan semua tanda-tanda kehidupan dari sosok yang menjadi
jagoannya selama ini. Aku masih ingat, Ninda masih sempat usil kepadaku
beberapa menit sebelum kabar itu di dengarnya lewat telepon. Aku juga masih
ingat, pucat pasi wajahnya sepanjang perjalanan kami ke rumahnya. Aku masih ingat
betul itu. Tapi, setelah sebuah beasiswa pertukaran pelajar memintaku untuk
pergi beberapa hari setelah itu, aku tak pernah lagi mendengar kisahnya tentang
ini. Aku tak pernah lagi mendengar tuturnya tentang ini. Adakah sesuatu yang
terjadi selama ini dan aku tak tahu, Nin?
“Aku pernah memimpikan Bapaklah
orang pertama yang kusodori ijazah saat gelar sarjana kusandang, Bay. Bapaklah
orang pertama yang kuimpikan berkata bangga atas segala capaianku. Bahkan,
kadang aku bermimpi Bapaklah yang mengantarkanku pada laki-laki pilihanku
kelak.”
“Bapak pasti sudah tenang di sana, Nin,” aku berharap kata-kata ini
membantumu, Nin. Tapi kau malah tersenyum. Senyum pertamamu setelah beberapa
hari kita berdiam di sini.
“Akhir-akhir ini aku memilih
menghabiskan soreku di sini bersamamu, Bay. Bukan karena apa. Ini adalah tempat
favorit bapak menghabiskan akhir pekannya dulu. Tempat bapak duduk terdiam
setelah beberapa saat menertawakanku yang bermain ombak. Tempat ini, penuh
kenangan bersama ibu katanya.” Suara hembusan nafas dari gadis di sebelahku ini
terdengar begitu berat. Adakah yang menyesakkan dadamu, Nin?
“Kuliahku usai sebentar lagi, Bay.
Dan semakin rajin kukerjakan tugas akhirku, semakin aku mengingat bapak dan
mimpi-mimpiku.”
“Aku datang ke sini dengan harapan
akan mendapat ketenangan seperti yang bapak rasakan setiap kali mengajakku
kemari. Setiap kali sosok ibu dirindukannya berhari-hari. Tapi, kau lihat
jejak-jejak kaki mereka itu, Bay? Lihat, dalam sekejap, ombak menghapusnya.
Pernah kau coba untuk berdiri lagi di sana? Sekedar untuk menunggu ombak itu
kembali, namun pada kenyataannya, ia tak juga menyapamu karena lautan tengah
surut? Kau bisa rasakan angin yang memainkan rambutmu itu, Bay? Rasakan. Kau
tak pernah bisa menggenggamnya, bukan? Kau tak bisa memintanya untuk datang
atau pergi sesuai impimu, bukan?
Aku tak mengerti, kenapa Bapak suka
sekali mengajak ibu kemari semasa hidup mereka dulu. Aku tak mengerti, kenapa
Bapak masih juga suka mengajakku kemari. Padahal berada di sini justru membuat
semuanya terasa terlalu mudah untuk datang dan pergi untuk meninggalkan.
Padahal berada di sini justru membuat semuanya terasa lebih mudah untuk
membuatmu merasa sendirian.”
“Dan semua rasa kehilangan itu
semakin terasa setiap kali jingga warnai lautan, Bay. Setiap kali matahari
berada diperbatasan, dan seolah dalam sekejap ia hilang. Seolah lupa seharian
ini ia membuat banyak kulit menghitam karena sinarnya. Seolah lupa betapa
mesranya ia dengan pagi beberapa saat lalu. Tapi, mengapa pagi tak pernah
membenci matahari yang meninggalkannya dalam malam? Bahkan senja tak pernah
menahan matahari untuk terbenam,” racaumu panjang lebar, Nin. Tumpahkan, nak.
Luapkan saja.
“Akhir-akhir ini aku baru tahu, Bay.
Mungkin demikian pula yang bapak lakukan. Mungkin memang kisahku bersama Bapak
telah usai. Sudah waktunya terbenam jika itu matahari. Sudah waktunya
berganti, bila itu hari.”
Aku mulai mengerti apa yang kau
bicarakan, Nin. Aku mulai mengerti apa yang kau rasakan. Sedalam itukah rasanya
kehilangan mereka? Sesepi itukah rasanya sendiri sementara tugas akhir juga
harus segera diakhiri?
“Tapi kita bukan matahari, Nin,”
tuturku lemah. Kenapa seolah aku yang menyerah, ya? Tapi ..
“Kita bukan matahari yang bisa datang
dan pergi setiap hari. Kita bukan matahari yang setelah terbenam ia akan
kembali terbit. Kau tahu, bapak tak akan kembali meski pagi sudah berganti.”
“Kau benar, Bay. Itu pun pertanyaan
yang buatku diam beberapa hari ini di sini. Tapi, sepertinya bukan itu yang
bapak ingin sampaikan padaku. Kau tahu kan, Bay, meski esok ia datang lagi, tak
pernah dengan kisah yang sama dia menyapa.” Aku mengernyitkan dahi mendengar
racauanmu yang ini, Nin. Jika kita bukan matahari, lalu apa yang ingin bapak
sampaikan?
“Kupikir, justru karena kita bukan
matahari, kita bisa memilih untuk datang atau pergi. Kita bisa memilih untuk
tinggal atan meninggalkan. Untuk mengungkapkan atau menyembunyikan. Untuk
berdiam atau mengambil tindakan. Untuk mengawali atau menanti. Kita bisa
memilih untuk terbit atau terbenam, Bay.”
Aku terdiam untuk racauanmu yang ini,
Nin. Satu sisi, aku berbangga atas orang tuamu yang memiliki gadis setegar
dirimu. Aku tau dirimu tengah terjatuh dalam kesendirian. Tapi, dalam kesendirian
itu pula engkau mengarang. Aku bangga atas hal ini untukmu, Nin. Meski di sisi
lain, Nin, aku mulai mempertanyakan, bolehkah aku berhenti menanti dan mengawali
satu kisah baru denganmu? Bolehkah aku berhenti menyembunyikan semua ini dan
menyampaikannya padamu, Nin?
“Hari sudah gelap, Bay. Ayo, kita
pulang.”
“Oh, eh, iya. Yuk!” Mungkin memang
belum waktunya kisah kita terbit ya, Nin.
*Sukma Hanifani: 11 Februari 1993, anggota Divisi Sastra LPM Perspektif,
mahasiswi Ilmu Komunikasi 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar