Malang, PERSPEKTIF – Mahasiswa semakin marak
membuat kegiatan yang mengangkat isu maupun permasalahan sosial yang ada di masyarakat seperti dalam bentuk seminar dan
forum diskusi. Hal tersebut seakan
menjadi sebuah tren dikalangan mahasiswa, termasuk mahasiswa Universitas
Brawijaya (UB). Maraknya perbincangan terkait permasalahan sosial dinilai baik
oleh Robbani Amal Romis, salah seorang aktivis dalam aliansi Malabar. “Mahasiswa harusnya mulai mengikat diri dengan basis – basis permasalahan
konkret di sekitarnya,” paparnya.
Namun,
permasalahannya kegiatan tersebut seringkali berhenti hanya sampai pada sebuah
diskusi, tidak berujung pada gerakan yang konkret. Hal ini yang mengakibatkan konten yang terlanjur panas
dalam perbincangan baik dalam diskusi maupun seminar pada akhirnya menguap begitu saja.“ bolehlah diskusi –
diskusi didalam kampus, tapi kemudian harus diwujudkan diluar,” tutur Mahasiswa Fakultas Teknik UB ini menambahkan.
Hal senada
diungkapkan Muhammad Taher Bugis Kepala Divisi Korupsi Politik Malang Corruption Watch (MCW). “Dalam
konteks mahasiswa, saya lihat mahasiswa sekarang
ini lebih bergelut di dunia wacana.
Dalam artian hanya sebatas wacana tetapi mereka tidak dapat untuk
mempraktisikan wacana itu sendiri,” ujar pria yang akrab dipanggil Taher ini.
Lebih
lanjut Taher berpendapat bahwa mahasiwa membicarakan terkait dengan penderitaan
masyarakat melalui ruang-ruang (media sosial,diskusi) yang tertutup, padahal kalau
bicara tentang penderitaan masyarakat kita harus turun terjun langsung ke
masyarakat dan melakukan apa yang bisa dilakukan.“Mahasiswa jangan hanya
mengedepankan diskusi, eman. Hasil
diskusi itu harus bisa dipraktiskan sehingga apa yang dibahas tidak hanya
sebatas mengembang kognitif kita, bukan hanya sebatas mimpi. Tetapi mimpi itu
harus diwujudkan dalam tindakan implementasi,” terangnya.
Terlebih
lagi, semakin banyak bermunculan pembahasan isu sosial yang dilakukan dalam
bentuk seminar berbayar yang menawarkan sertifikat, serta diadakan di sebuah
ruangan yang mewah seperti hotel. “Kalau
menurut saya itu bukan sebuah gerakan, bagi saya itu sudah lari ke profit oriented. Kalau kita mau buat
gerakan itu nothing to lose. Kita mau
menyadarkan orang tentu kita tidak membutuhkan feedback dong.Kalau
menyadarkan orang, tidak harus di ruangan yang mewah, kita bisa memanfaatkan
ruang-ruang yang sudah ada untuk melakukan pola gerakan kita,” tanggap Taher saat ditemui di markas
MCW yang berada di Jalan Joyosuko Metro.
“Kalau
kita cuma mau menjadi seorang yang populer, gerakan tersebut (seminar di tempat
mewah, red.) dirasa pas. Membuat kegiatan berdiskusi memaparkan ide-idenya dan
mempublikasinya di media sosial, kalau hanya sebatas itu mending ngga usah,” tegas Taher dalam suasana
gerimis sore itu.
Menurutnya,
sebuah gerakan tidak bisa terlepas dari masyarakat. Jadi, jika ingin melakukan
sebuah kegiatan yang mengangkat isu sosial masyarakat harus terlibat. “tidak
dalam bentuk seminar, diskusi untuk dirinya atau kalangan mahasiswa sendiri,”
pungkas pria asal Lombok tersebut.
Menanggapi
hal tersebut Robbani Amal Romis mengaku turut menyayangkannya. “Kegiatan
organisasi kampus cenderung sebagai eo (Event
Organizer – red), akhirnya gerakan – gerakan sosial ini menjadi tumpul. Kader – kader diajak
berproses untuk bikin acaranya, bukan berproses bersama membahas
kontennya,” pungkasnya.
“Kampus
ini sebenarnya adalah ruang epistemik untuk membahas berbagai permasalahan,
seharusnya mahasiswa mulai turun bukan lagi sebagai penyambung lidah rakyat
tetapi mendengar rakyat agar rakyat ini mampu berbicara sendiri. Mungkin yang
jarang dilakukan mahasiswa ialah berproses dengan cara belajar dan terlibat
bersama masyarakat seakan sebagai kawan. Bukan melaksanakan kegiatan normatif yang menekankan seakan mahasiswa itu
kaum yang lebih elit dari masyarakat, semacam pengabdian masyarakat, donor darah, apalagi seminar,” papar pria
yang akrab disapa Robbani tersebut.
“Mahasiwa adalah ujung tombak sebenarnya.
Kalau dilihat pada saat reformasi kemarin, yang berperan paling menonjol adalah
mahasiswa. Mahasiswa harus bisa lihat realitas tersebut dan bisa berimajinasi
untuk menanggapi realitas. Dalam artian, imajinasi yang akan dilakukan itu
untuk merebut suatu perubahan dan bisa dia (mahasiwa – red.) lakukan. Bukan
hanya sebatas berimajinasi, tapi bisa dia implementasikan,” tutup Taher.(ank/ran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar