Oleh: Faizal Ad Daraquthny*
Banyak orang beraktivitas di ruangan besar berlantaikan semen itu. Ada yang
sedang mencuci daging, memotong daging, memberi campuran bumbu-bumbu pada
daging, mengaduk adonan di penggilingan, sampai berdiri untuk menunggu
gilirannya. Rumah penggilingan bakso di sebuah desa di daerah Tulungagung itu
selalu ramai dengan aktivitas rutinnya, bahkan sebelum matahari mulai mengintip
di ufuk timur.
“Peh, tumben sampeyan giling cuma dua kilo daging mas?,” tanya wanita di
belakang meja kasir sambil memasukkan bumbu dan telor di atas daging yang paman
beli.
“Baru pindah tempat Bulek,” jawab
paman seadanya.
“Loh, kok pindah? Memang sepi mas yang lama?,” tanya wanita itu lagi.
Paman tersenyum,”ndak Bulek, nanging
kulo diganggu[1]”.
***
Telepon genggamku bergetar di atas meja. Nampak tulisan ibu memanggil di
layarnya. Segera saja kuangkat.
“Halo, assalamuaialaikum”.
“Walaikum salam, dimana le?
Sehat?,” suara ibuku terdengar di ujung sana.
“Di kamar kos buk, alhamdulillah sehat. Ibuk piye, sehat? Ada apa buk?”.
“Sehat, alhamdulillah sehat, ndak
cuma mau tanya kapan kamu pulang ke sini, kan kamu sudah libur semester,” kata
ibu.
“Hehe iya bu, besok pagi berangkat ke sana. Tapi mungkin mas hanya tiga
hari dulu di sana. Soalnya diajak teman naik gunung Arjuno”.
“Kamu sebelum kesini bisa mampir ke Paklek
Tomo dulu di Tulungagung. Bantu-bantu dia pindahan rumah, kalau kamu bantu, kan
bisa sedikit meringankan”.
“Yah bu, takut tidak sempat naik gunung nanti kalau ke Tulungagung dulu,”
kataku mencoba beralasan untuk menolak permintaannya. Ada suara gesekan di
ujung telepon sana, sepertinya ibuku sedang bergerak dengan teleponnya.
“Halo le,” sekarang ganti suara
bapakku yang terdengar. “Bantu Paklekmu,
habis terkena musibah dia,” kata bapakku dengan suara tegas.
“Baik pak,” jawabku langsung tanpa alasan lagi untuk menolak. Memang aku
tak pernah bisa menolak permintaan dari bapakku. Seringkali perkataannya padaku
seolah-olah seperti perintah dari komandan terhadap prajuritnya; tidak bisa
tidak.
Perjalanan ke Tulungagung kutempuh dengan bis. Kata ibuku dia sudah
menelpon paman Tomo untuk menjemputku di terminal ketika aku sudah sampai di
sana. Benar saja, paman sudah berdiri di dekat pemberhentian bis ketika aku
baru saja turun.
Paman menjemputku dengan motor. Motor bebek lawas keluaran satu dekade lalu
yang terlihat ditempeli beberapa noda putih di bagian tengah badan motornya.
Seingatku sebelum ia menikah dua tahun lalu, ia memiliki motor lelaki keluaran
baru yang tentunya jauh terlihat lebih menawan dari motornya yang sekarang.
Entah apa yang membuat paman sekarang mengganti motornnya menjadi seperti ini,
nasib orang memang tidak ada yang bisa tahu, sekalipun dukun hebat di ujung
tanah jawa.
Jarak rumah paman Tomo dari Terminal cukup jauh, sekitar satu setengah jam
ditempuh dengan motornya yang melaju santai. Setalah kami sampai, nampak rumah
kecil sederhana yang sekarang ia kontrak. Temboknya berwarna putih tua, dengan
di beberapa tempat catnya sudah mengelupas. Di sekeliling rumah terdapat
beberapa pohon yang meneduhkan.
Bibi Atik menyambut kedatangan kami dengan hidangan teh dan pisang goreng.
“Istirahat dulu Di, besok saja mengambil barang-barang Paklek yang masih ada di kontrakan lama”. Aku hanya mengiakan.
Siang itu kami mengobrol dan bertukar kabar tentang keluarga. Namun tak ada
satu obrolan yang menyinggung masalah yang Paman hadapi.
Esoknya, paman mengajakku ke rumah kontrakannya yang dulu. Katanya mau
mengambil gerobak baksonya dan beberapa tenda jualan yang masih tertinggal di
sana. Menjadi penjual bakso mulai dilakukannya setelah ia menikah. Sebelum
menikah, ia memiliki kios yang menjual peralatan rumah tangga di pasar. Tapi
kios itu ia jual untuk biaya menikah dan modal usaha baksonya yang sekarang.
Ternyata kontrakkannya tidak begitu jauh. Gerobak baksonya yang berwarna
hijau parkir di depan rumah. Untuk membawanya ke rumah kontrakan paman yang
baru, aku memegangi gagang gerobak sambil dibonceng di atas motor oleh paman.
Punggungku membelakangi punggung pamanku. Berbahaya memang, tapi tidak ada
solusi cepat lain yang kami temukan untuk membawa gerobak bakso pada saat itu.
Saat di atas motor, paman sempat menoleh sebentar ke warung bakso yang
belum buka, tak jauh dari kontrakannya yang lama. Aku pun sekilas sempat
melihat warung itu, warung bakso yang mungkin sudah lebih dulu berdiri di sana
sebelum pamanku pindah.
Sampai di rumah, kami beristirahat sejenak lalu, paman dan aku mulai
membersihkan gerobak dan tenda yang tadi kami bawa. Sementara bibi mulai
membersihkan peralatan makan. Kata Paman Tomo, besok dia mau mulai jualan. Jadi
persiapan pun harus segera dilakukan.
***
Pagi sekali saat aku dibangunkan oleh Paman Tomo. Hawa dingin
mencolek-colek kulitku ketika selimut yang aku pakai tidur tadi kulepas. Rasa
dingin itu makin terasa ketika aku mengambil air wudlu untuk sholat.
“Ayo le, melu paklek nang gilingan bakso[2],” ajak pamanku sehabis
sholat.
Dengan motor, paman dan aku berangkat menuju tempat penggilingan. Hawa dingin
yang tadi menggangguku sudah sedikit berkurang oleh ketebalan jaket kulit yang
menempel rapat di kulitku.
Sebelum ke tempat penggilingan bakso, paman terlebih dahulu mampir ke pasar
tempat ia membeli daging. Tak kusangka, di jam yang sepagi ini, puluhan orang
sudah ada di sana. Mereka berkumpul di pedagang daging langganan mereka
masing-masing. Ada yang memilih daging yang masih anget, ada juga yang memilih dingin. Ada yang suka sapi lokal, ada
pula yang cenderung ke sapi impor.
Paman kembali ke motor dengan membawa dua kilo daging sapi. Kami pun
langsung menuju ke rumah penggilingan bakso yang tak jauh dari tempat kami
membeli daging.
Suara mesin penggiling yang berderu keras menyambut kami. Suara kencang mesin
bertenaga solar itu diimbangi oleh gerakan lincah tangan dari seorang lelaki yang
mengaduk-aduk adonan daging dan kanji di sampingnya. Kelihaian lelaki itu dalam
mengaduk-aduk membuatku takjub sekaligus ngeri. Satu keteledoran kecil saat
mengaduk adonan, dapat membuatnya kehilangan jari bahkan tangan.
Di belakang pria pengaduk adonan, berjejer para pedagang bakso yang
mengantri, termasuk pamanku nantinya. Tapi sebelum itu, pamanku mengambil
telur, kanji, dan bumbu lainnya di meja kasir. Di sanalah terjadi sebuah
percakapan antara pamanku dan wanita kasir yang ia panggil “Bulek”. Percakapan yang mengingatkanku
tentang permasalahan yang dihadapi olehnya.
“Oh diganggu,” kata wanita itu setelah mendengar pamanku menjawab
pertanyaannya tadi. “Sudah ke orang pintar?,” tanyanya lagi.
Lagi-lagi pamanku tersenyum kecil. “Tidak bulek, saya menghindar saja. Takut keterusan hubungan sama yang
begituan.” Pamanku segera melangkah menjauh dari kasir menuju antrian, seolah
ingin segera menghentikan percakapan dengan si bulek kasir.
***
Paman menurunkan satu kantong plastik yag penuh dengan adonan bakso.
Beberapa cipratan adonan bakso yang menempel di kantong plastik, turut pula
menempel di bagian tengah sepeda motornya. Melihat itu, akhirnya aku tahu dari
mana asal noda putih di motor paman Tomo.
Paman menyerahkan adonan bakso tersebut kepada bibi. Bibi Atik memang
kebagian tugas untuk mengolahnya menjadi bakso yang siap makan.
Paman dan aku duduk di ruang tamu.
Lalu paman mulai bercerita tentang permasalahannya kepadaku. Kata paman,
sebelumnya usaha bakso miliknya begitu laris. Sekali menggiling bakso, bisa
sampai 10 kilogram. Karena itulah si bulek
heran saat tadi paman hanya menggilong dua kilo daging.
Keuntungan yang paman peroleh dari menjual bakso pun banyak. Seminggu saja,
bisa jutaan untung bersih yang ia kantongi. Kata paman, keuntungan itu tidak
serta merta ia peroleh dengan mudah. Perlu banyak eksperimen untuk menemukan
racikan bakso yang pas yang diminati orang-orang. Karena itu, setelah ia merasa
racikannya telah pas, ia berusaha untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan
kualitasnya.
Tapi masa keemasan yang ia rasakan tak berlangsung lama. Tiga bulan setelah
merasakan keuntungan per bulan yang lumayan besar, usahanya mengalami penurunan
yang cukup drastis. Warungnya sepi pembeli. Banyak di antara langganan paman
yang berkata bahwa rasa bakso paman berubah tidak enak, tidak seperti yang
dulu. Paman pun mulai heran dan kelabakan. Ia merasa bahwa tidak ada yang
berbeda dengan bakso yang biasa ia buat.
Paman pun mulai curiga bahwa ada yang mengirimkan sihir kepadanya.
Bagaimana tidak, beberapa kali ia mengalami baksonya berbau apek. Padahal bakso
tersebut umurnya baru tiga jam setelah dimasak oleh istrinya. Teksturnya pun
berubah menjadi seperti tekstur cilok yang
lembek. Meskipun ia yakin betul kalau campuran kanji dan dagingnya sudah pas
sesuai dengan takarannya.
Suatu pagi, sebelum adzan subuh. Ia mendengar ada bunyi gesekan sandal di
depan kontrakannya yang dulu. Ia pun mengintip dari balik jendela depan.
Remang-remang, ia melihat seseorang sedang menebar sesuatu di dekat gerobaknya.
Curiga bahwa ia adalah orang yang mengiriminya sihir agar warung baksonya
menjadi tidak laris, paman pun menunggu sebentar sampai orang itu selesai
melakukan aksinya.
Setelah orang itu pergi, perlahan ia membuka pintu depan rumahnya. Saat itu,
jantungnya berdegub kencang. Langkah kakinya pun ia pelankan. Dengan peneranga
seadanya dari lampu depan, ia akhirnya dapat melihat apa yang disebar orang
mencurigakan tadi. Ternyata potongan-potongan tulang ayam dan arang hitam bekas
dibakar.
Tentang Penulis:
*Faizal Ad Daraquthny
Penulis adalah Mahasiswa jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat
ini sedang berproses di LPM Perspektif sebagai Pimpinan divisi Sastra LPM
Perspektif.
[1] Tidak bu, tapi saya diganggu (oleh
sesuatu).
[2] Ayo, ikut paman ke tempat penggilingan
bakso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar