Jumat, 16 Oktober 2015

Para Penghuni Menara


Sial! Kepala ini mulai mendidih
Terkungkung di antara menara-menara terjulang megah
Jangan kaget, mereka biasa beranak-pinak tanpa lelah
Mencekik anak elang yang berlatih terbang tanpa belas kasih
Lihatlah sekarang, lihatlah!
Apa yang buyutmu khawatirkan terjadilah!
Perlahan-lahan membunuh jengkal demi jengkal tanah
Membunuh hakikat manusia sehingga terpecah belah

Hei, Manusia para penghuni menara
Kalian tak menyadari tatkala perlahan kau terpenjara
Mana pekerjaan dan jabatan yang kau elu-elukan itu, mana?
Kulihat kau hanya dianggap babu di tanah para raja
Mau saja diberi makan janji sia-sia
Lihatlah orang sepertimu di sana merana karena bunga
Oh, aku lupa kapan terakhir kali kau menyapanya?
Seminggu? Sebulan? Entahlah, mungkin kau telah lupa

Para penghuni menara di tanah tanpa jiwa manusia
Masih betah saja kau tinggal di sana
Tiap pagi minum teh ditemani bau comberan dan jelaga
Sarapan dengan musik menyedihkan dari kereta tanpa kuda
Sesak dan pusing sehingga makan malammu saja obat sakit kepala
Karena otak diperkosa hanya untuk menimbun lembar-lembar harta
Oh, pantas, betis wanita bertebaran dimana-mana
Itulah kenapa kau masih betah saja di sana

Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika burung-burung sekarat di udara
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika makin banyak gembel di perempatan tengah kota
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Bahkan dengan ibunya sendiri, seseorang bisa tak menyapanya
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika yang lama tampak seperti sekarat di tengah gemerlap pesta


Tentang Penulis:
*Kumba P Dewa

Penulis adalah mahasiwa Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini ia aktif berproses sebagai  anggota di LPM Perspektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar