Sial! Kepala ini mulai mendidih
Terkungkung di antara menara-menara
terjulang megah
Jangan kaget, mereka biasa beranak-pinak
tanpa lelah
Mencekik anak elang yang berlatih terbang
tanpa belas kasih
Lihatlah sekarang, lihatlah!
Apa yang buyutmu khawatirkan terjadilah!
Perlahan-lahan membunuh jengkal demi
jengkal tanah
Membunuh hakikat manusia sehingga terpecah
belah
Hei, Manusia para penghuni menara
Kalian tak menyadari tatkala perlahan kau
terpenjara
Mana pekerjaan dan jabatan yang kau
elu-elukan itu, mana?
Kulihat kau hanya dianggap babu di tanah
para raja
Mau saja diberi makan janji sia-sia
Lihatlah orang sepertimu di sana merana
karena bunga
Oh, aku lupa kapan terakhir kali kau
menyapanya?
Seminggu? Sebulan? Entahlah, mungkin kau
telah lupa
Para penghuni menara di tanah tanpa jiwa
manusia
Masih betah saja kau tinggal di sana
Tiap pagi minum teh ditemani bau comberan
dan jelaga
Sarapan dengan musik menyedihkan dari
kereta tanpa kuda
Sesak dan pusing sehingga makan malammu
saja obat sakit kepala
Karena otak diperkosa hanya untuk menimbun
lembar-lembar harta
Oh, pantas, betis wanita bertebaran
dimana-mana
Itulah kenapa kau masih betah saja di sana
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika burung-burung sekarat di udara
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika makin banyak gembel di perempatan
tengah kota
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Bahkan dengan ibunya sendiri, seseorang
bisa tak menyapanya
Apa guna melahirkan menara-menara baru
Jika yang lama tampak seperti sekarat di
tengah gemerlap pesta
Tentang Penulis:
*Kumba
P Dewa
Penulis adalah mahasiwa Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Brawijaya. Saat ini ia aktif berproses sebagai anggota di LPM Perspektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar