Kamis, 22 Oktober 2015

Dunia Baru Penuh Haru

Oleh: Jihan Ramadhana

Biarkan aku bercerita sebuah kisah. Kisah tentang seorang mahasiswa rantau dari sebuah kota kecil di Jawa Barat sana. Kini dia sedang pusing akan masalahnya, katanya. Tinggal di kota besar memang menyenangkan, apalagi jauh dari orang tua, pikirnya kala itu. Tapi hanya sebuah sesal yang kini ia rasakan. Naufal namanya. Seorang anak laki-laki yang kini beranjak dewasa, seharusnya. 
Matanya menatap kosong tembok putih di depannya. Dua hari yang lalu ia kedatangan orang yang tidak diharapkannya. Sekelompok orang yang mengaku sedang melakukan operasi gabungan. Ia dan empat orang temannya adalah sasaran mereka. Tak diingatnya berapa jumlah mereka di hari itu. Bahkan ia tidak pula memperhatikan seorang gadis cantik yang tergabung dalam operasi gabungan itu.
Beberapa barang bukti berhasil membawa Naufal dan keempat orang lainnya ke dunia baru. Tepatnya pada pukul 7 malam, Pak Indra bersama beberapa rekan yang tergabung dalam operasi gabungan mendatangi kediaman Naufal. Sejak pulang kuliah pukul 2 siang, Naufal, bersama keempat temannya berdiam diri di ‘markas’ mereka. Rumah Naufal dipilih karena cukup luas, sedangkan keempat lainnya tinggal di kostan kecil. 
Tawa dari kelimanya pecah sesaat setelah Leo terjatuh karena terpeleset. Ia berniat mengambil ‘teman’ kumpul mereka yang tersimpan di laci dapur rumah Naufal. Untung saja ‘teman’ itu tidak ikut jadtuh dan berserakan. Segeralah Leo membagikan apa yang ia bawa kepada keempat temannya. Mereka tersenyum puas.
Hisapan demi hisapan mereka nikmati bersama. Rasanya begitu damai, kata mereka. Beban di pundak selama ini seakan terangkat. Sungguh beruntunglah mereka memiliki ‘teman’ yang baik. 
Semua masih terasa indah sampai akhirnya mereka mendengar ketukan di pintu depan. Mereka panik bukan kepalang. Ingin ‘teman’ mereka terselamatkan, mereka simpan baik-baik di tempat penyimpanan teraman, menurut mereka. Naufal sebagi tuan rumah terpaksa membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia dengan sekelompok orang dengan muka garang di depan rumahnya. Tak ingat ia akan jumlah orang yang ada, sedang Leo dan ketiga lainnya berusaha melarikan diri dengan memanjat hingga atap rumah di belakang. Tapi sia-sia saja. Dalam sekejap mereka tertangkap.
Pak Indra dan rekannya dengan sergap menahan mereka. Menanyai satu persatu mengenai keberadaan ‘teman’ mereka itu. Seakan mulut terisolasi, kelimanya bungkam. Tak lama setelahnya Pak Wahyu berhasil menemukan tempat penyimpanan ‘teman’ mereka. Tak butuh waktu lama, mereka berlima diringkus.
Naufal puisng bukan kepalang. Awalnya ia hanya menuruti ajakan sahabat. Masalah akan keluarganya di kota kecil di Jawa Barat sana terus menghantuinya. Tepat satu tahun sebelum ia memutuskan merantau ke kota ini saat ia SMA, orang tuanya bercerai. Laki-laki paruh baya yang kerap diakuinya sebagai bos di kantornya ternyata adalah orang yang selama ini dikasihi ibunya. 
Goncangan tersendiri bagi Naufal yang masih SMP kala itu. Ia sempat benci terhadap ibunya. Begitu pula dengan ayahnya. Ia muak dengan kehidupan keluarganya, hingga akhirnya ia memutuskan bersekolah di kota ini. Ia bertekad memulai kehidupan baru yang penuh dengan warna hingga ia melupakan kesedihannya.
Beruntunglah ia memiliki sahabat yang selalu ada. Tidak hanya di kala senang, namun juga saat ia merasa sedih hingga terpuruk. Saat itulah ia mulai berkenalan dengan ‘teman’ mereka. Saat itu pula ia memiliki hubungan dengan ‘teman’ itu. Beban yang dipikulnya terasa ringan. Semua masalah yang dihadapinya seakan hilang. Sebuah senyuman sering ia kembangkan bersama sahabat dan ‘teman’ barunya.
Namun sesal selalu datang terlambat. Sebuah operasi gabungan menghancurkan ‘dunia cerianya’. Kini ia harus bersiap menghadapi dunia yang benar-benar baru, hal yang ia inginkan saat pertama kali merantau. Entah harus senang atau sedih. Ia terus memikirkan tempat rantauannya yang baru, pusat rehabilitasi.


Tentang Penulis:
*Jihan Ramadhana
Penulis adalah mahasiswi jurusan psikologi Universitas Brawijaya. Saat ini ia aktif sebagai anggota divisi Sastra LPM Perspektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar