Oleh: Jihan Ramadhana
Biarkan aku bercerita sebuah kisah. Kisah tentang seorang mahasiswa
rantau dari sebuah kota kecil di Jawa Barat sana. Kini dia sedang pusing akan
masalahnya, katanya. Tinggal di kota besar memang menyenangkan, apalagi jauh
dari orang tua, pikirnya kala itu. Tapi hanya sebuah sesal yang kini ia
rasakan. Naufal namanya. Seorang anak laki-laki yang kini beranjak dewasa,
seharusnya.
Matanya menatap kosong tembok putih di depannya. Dua hari yang lalu ia
kedatangan orang yang tidak diharapkannya. Sekelompok orang yang mengaku sedang
melakukan operasi gabungan. Ia dan empat orang temannya adalah sasaran mereka.
Tak diingatnya berapa jumlah mereka di hari itu. Bahkan ia tidak pula
memperhatikan seorang gadis cantik yang tergabung dalam operasi gabungan itu.
Beberapa barang bukti berhasil membawa Naufal dan keempat orang lainnya
ke dunia baru. Tepatnya pada pukul 7 malam, Pak Indra bersama beberapa rekan
yang tergabung dalam operasi gabungan mendatangi kediaman Naufal. Sejak pulang
kuliah pukul 2 siang, Naufal, bersama keempat temannya berdiam diri di ‘markas’
mereka. Rumah Naufal dipilih karena cukup luas, sedangkan keempat lainnya
tinggal di kostan kecil.
Tawa dari kelimanya pecah sesaat setelah Leo terjatuh karena terpeleset.
Ia berniat mengambil ‘teman’ kumpul mereka yang tersimpan di laci dapur rumah
Naufal. Untung saja ‘teman’ itu tidak ikut jadtuh dan berserakan. Segeralah Leo
membagikan apa yang ia bawa kepada keempat temannya. Mereka tersenyum puas.
Hisapan demi hisapan mereka nikmati bersama. Rasanya begitu damai, kata
mereka. Beban di pundak selama ini seakan terangkat. Sungguh beruntunglah
mereka memiliki ‘teman’ yang baik.
Semua masih terasa indah sampai akhirnya mereka mendengar ketukan di
pintu depan. Mereka panik bukan kepalang. Ingin ‘teman’ mereka terselamatkan,
mereka simpan baik-baik di tempat penyimpanan teraman, menurut mereka. Naufal
sebagi tuan rumah terpaksa membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia dengan
sekelompok orang dengan muka garang di depan rumahnya. Tak ingat ia akan jumlah
orang yang ada, sedang Leo dan ketiga lainnya berusaha melarikan diri dengan
memanjat hingga atap rumah di belakang. Tapi sia-sia saja. Dalam sekejap mereka
tertangkap.
Pak Indra dan rekannya dengan sergap menahan mereka. Menanyai satu
persatu mengenai keberadaan ‘teman’ mereka itu. Seakan mulut terisolasi,
kelimanya bungkam. Tak lama setelahnya Pak Wahyu berhasil menemukan tempat
penyimpanan ‘teman’ mereka. Tak butuh waktu lama, mereka berlima diringkus.
Naufal puisng bukan kepalang. Awalnya ia hanya menuruti ajakan sahabat.
Masalah akan keluarganya di kota kecil di Jawa Barat sana terus menghantuinya.
Tepat satu tahun sebelum ia memutuskan merantau ke kota ini saat ia SMA, orang
tuanya bercerai. Laki-laki paruh baya yang kerap diakuinya sebagai bos di
kantornya ternyata adalah orang yang selama ini dikasihi ibunya.
Goncangan tersendiri bagi Naufal yang masih SMP kala itu. Ia sempat
benci terhadap ibunya. Begitu pula dengan ayahnya. Ia muak dengan kehidupan
keluarganya, hingga akhirnya ia memutuskan bersekolah di kota ini. Ia bertekad
memulai kehidupan baru yang penuh dengan warna hingga ia melupakan
kesedihannya.
Beruntunglah ia memiliki sahabat yang selalu ada. Tidak hanya di kala
senang, namun juga saat ia merasa sedih hingga terpuruk. Saat itulah ia mulai
berkenalan dengan ‘teman’ mereka. Saat itu pula ia memiliki hubungan dengan
‘teman’ itu. Beban yang dipikulnya terasa ringan. Semua masalah yang
dihadapinya seakan hilang. Sebuah senyuman sering ia kembangkan bersama sahabat
dan ‘teman’ barunya.
Namun sesal selalu datang terlambat. Sebuah operasi gabungan
menghancurkan ‘dunia cerianya’. Kini ia harus bersiap menghadapi dunia yang
benar-benar baru, hal yang ia inginkan saat pertama kali merantau. Entah harus
senang atau sedih. Ia terus memikirkan tempat rantauannya yang baru, pusat
rehabilitasi.
Tentang Penulis:
*Jihan Ramadhana
Penulis adalah mahasiswi jurusan psikologi Universitas
Brawijaya. Saat ini ia aktif sebagai anggota divisi Sastra LPM Perspektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar