![]() |
Karikatur: Ade/Perspektif |
Malang, PERSPEKTIF – Pada zaman pemerintahan orde baru,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Josoef mengeluarkan Surat Keputusan
(SK) No.0156/U/1978 tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No.0230/U/J/1980 tentang pedoman umum
organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Melalui surat
keputusan tersebut, kampus “steril” dari kegiatan politik mahasiswa.
“Organisasi
mahasiswa ekstra kampus (OMEK, red.) itu sarana dan mereka mempunyai ideologi
masing-masing, itu yang membuat kita punya frame berpikir dan membuat
kita berjalan dan hidup di organisasi dengan ideologi yang ada,” ujar Jihadul
Akbar (21/9) selaku koordinator Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI, red.) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Mahasiswa
yang akrab disapa Adul ini tidak setuju me-ngenai pelarangan perekrutan
terbuka untuk calon anggota omek didalam
kampus, “untuk join di dalam omek itu pilihan masing-masing mahasiswa
dan itu kebebasan independen,” lanjut mahasiswa jurusan Hubungan Internasional
tersebut. Namun menurut keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)
No.26/DIKTI/KEP/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai
politik dalam kehidupan kampus, sontak membuat omek tidak bisa lagi melakukan
perekrutan didalam kampus.
“Dulu OMEK
bukan diluar kampus tetapi didalam kampus, sekarang ada bebe-rapa kampus yang
melegalkan omek dalam bentuk lain se-perti Universitas Gadjah Mada yang
berbentuk partai politik mahasiswa, jadi disana sistem politiknya lebih fair”
ujar Novada Purwadi salah satu mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya
(UB). Dia juga menambahkan sebenarnya ada semacam miss komunikasi antara
organisasi intra dan OMEK. “Kalau saya pribadi seandainya masalah ini diselesaikan,
politik kampus bisa lebih dewasa,” lanjut mahasiswa yang juga aktif di Interdisciplinary
Urban Policy Studies. Saat ditemui tim Perspektif pada senin malam
(21/9). Novada juga menjelaskan buatlah sesuatu yang biasa dan fair
mengenai organisasi intra dan ekstra kampus, “silahkan kalau mau masuk OMEK
silahkan juga tidak masuk OMEK, tapi sebaiknya orang yang tidak masuk OMEK
tidak membenci OMEK, dan orang yang masuk OMEK sebaiknya tidak menyekat-nyekat
diri mereka.”
Novada yang
juga mantan pengurus organisasi intra di UB menyarankan fungsi OMEK
dikembalikan sebagai alat aktivisme mahasiswa, “saya lebih menyepakati kalau
OMEK fungsinya bukan hanya pengkaderan politik bagi mahasiswa, tapi lebih
kearah dikembalikan lagi sebagai alat aktivisme mahasiswa untuk menyikapi
isu-isu masyarakat”.
“Organisasi
ekstra itu sebagai pelengkap kehidupan kampus, tetapi bukanlah menjadi perusuh,
tapi lebih bersifat konstruktif” pungkas Faqih Alfian salah satu dosen Ilmu
Politik UB.
“Organisasi
ekstra bisa sebagai oposisi sehingga bisa menjadi pengawas dari lingkungan
kehidupan kampus, ketika ada kebijakan yang tidak sesuai itu bisa
bersinkronisasi dengan intra kampus,” lanjut pria bertubuh gempal tersebut. Ia
juga menjelaskan menge-nai perbedaan mendasar antara organisasi intra dan
ekstra, “perbedaannya pada ideologi masing-masing, kalau intra itu general
semuanya bisa menerima dan kegiatannya spesifik, kalau ekstra kecenderungannya
pada penanaman ideologis mahasiswa ma-sing-masing.”(hen/lta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar