Kamis, 01 Oktober 2015

OMEK Dulu dan Kini

Karikatur: Ade/Perspektif


Malang, PERSPEKTIF – Pada zaman pemerintahan orde baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Josoef mengeluarkan Surat Keputusan (SK)  No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No.0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Melalui surat keputusan tersebut, kampus “steril” dari kegiatan politik mahasiswa.


“Organisasi mahasiswa ekstra kampus (OMEK, red.) itu sarana dan mereka mempunyai ideologi masing-masing, itu yang membuat kita punya frame berpikir dan membuat kita berjalan dan hidup di organisasi dengan ideologi yang ada,” ujar Jihadul Akbar (21/9) selaku koordinator Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI, red.) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).  


Mahasiswa yang akrab disapa Adul ini tidak setuju me-ngenai pelarangan perekrutan terbuka  untuk calon anggota omek didalam kampus, “untuk join di dalam omek itu pilihan masing-masing mahasiswa dan itu kebebasan independen,” lanjut mahasiswa jurusan Hubungan Internasional tersebut. Namun menurut keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) No.26/DIKTI/KEP/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus, sontak membuat omek tidak bisa lagi melakukan perekrutan didalam kampus. 

“Dulu OMEK bukan diluar kampus tetapi didalam kampus, sekarang ada bebe-rapa kampus yang melegalkan omek dalam bentuk lain se-perti Universitas Gadjah Mada yang berbentuk partai politik mahasiswa, jadi disana sistem politiknya lebih fair” ujar Novada Purwadi salah satu mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya (UB). Dia juga menambahkan sebenarnya ada semacam miss komunikasi antara organisasi intra dan OMEK. “Kalau saya pribadi seandainya masalah ini diselesaikan, politik kampus bisa lebih dewasa,” lanjut mahasiswa yang juga aktif di Interdisciplinary Urban Policy Studies. Saat ditemui tim Perspektif pada senin malam (21/9). Novada juga menjelaskan buatlah sesuatu yang biasa dan fair mengenai organisasi intra dan ekstra kampus, “silahkan kalau mau masuk OMEK silahkan juga tidak masuk OMEK, tapi sebaiknya orang yang tidak masuk OMEK tidak membenci OMEK, dan orang yang masuk OMEK sebaiknya tidak menyekat-nyekat diri mereka.”


Novada yang juga mantan pengurus organisasi intra di UB menyarankan fungsi OMEK dikembalikan sebagai alat aktivisme mahasiswa, “saya lebih menyepakati kalau OMEK fungsinya bukan hanya pengkaderan politik bagi mahasiswa, tapi lebih kearah dikembalikan lagi sebagai alat aktivisme mahasiswa untuk menyikapi isu-isu masyarakat”.          


“Organisasi ekstra itu sebagai pelengkap kehidupan kampus, tetapi bukanlah menjadi perusuh, tapi lebih bersifat konstruktif” pungkas Faqih Alfian salah satu dosen Ilmu Politik UB. 


“Organisasi ekstra bisa sebagai oposisi sehingga bisa menjadi pengawas dari lingkungan kehidupan kampus, ketika ada kebijakan yang tidak sesuai itu bisa bersinkronisasi dengan intra kampus,” lanjut pria bertubuh gempal tersebut. Ia juga menjelaskan menge-nai perbedaan mendasar antara organisasi intra dan ekstra, “perbedaannya pada ideologi masing-masing, kalau intra itu general semuanya bisa menerima dan kegiatannya spesifik, kalau ekstra kecenderungannya pada penanaman ideologis mahasiswa ma-sing-masing.”(hen/lta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar