Pertemuan memang tak selalu diartikan
sebagai jalan mempererat hubungan. Karena menurutku, pertemuan adalah jalan
menuju perpisahan
– Rizkia Nur Jannah, 2014
Dari
balik kaca jendela kereta kami saksikan kota, penghuni dan segala drama yang
ada di dalamnya berjalan melawan arah. Menyimpang menjauh. Seakan semakin
kami dekati, semakin mereka tak ingin lagi dikenali.
Ketika
itu aku dan Praja baru saja selesai berkunjung ke salah satu pantai di sebelah
kota hujan. Pelosoknya bukan malang, tapi aku rasa pantai yang indah memang
susah ditemukan. Sedikit kecewa, karena kami hanya punya waktu sebentar untuk
bermain ombak liar. Penjaga pantai harus mensterilkan kawasan pantai dan
segera menutupnya sebelum malam datang. kuambil beberapa gambar, sekedar
pengingat bahwa kami pernah menjejakkan kaki di tempat ini.
Sebenarnya
aku tak terlalu memperdulikan pertemuan kami yang selalu singkat seperti ini.
Namun keletihan-keletihan yang kualami sebenarnya memang sulit untuk aku
sembunyikan darinya. Aku tak pernah mau terlihat lemah di matanya. Tak pernah
ingin menjadi beban bagi seseorang di sampingku. Tapi, mungkin praja bukan
mereka. Dia adalah aku, bayanganku.
Pundak
Praja adalah tempat yang amat luas. Tempat yang amat terbuka untukku menyandarkan
hidup. Membagi episode hitam putih, abu-abu. Aku kerap menceritakan semua
layaknya hujan pada musimnya. Praja selalu siap menjadi hutan. Hutan yang
menampung segala hujan.
Setelah
lelah menuruni gerbang kereta, kami mencari-cari sesuatu untuk mengisi perut,
karena tenaga yang telah terkuras. Akhirnya, kami putuskan untuk berhenti di
sebuah gerobak tahu telor. Ada beberapa gerobak makanan di sini; nasi goreng,
lalapan ayam, juga mie ayam. Tapi, entahlah. Dia memutuskan untuk berhenti di
sebuah gerobak tahu telor.
“Kita
makan disini saja ya”, seru Praja
“Boleh.”
Kami
melangkah beberapa meter ke depan. Sempat kulihat cahaya memantul melalu
keringa t yang mengalir di pipinya.
Satu yang aku suka dari Praja adalah dia lelaki yang tak pernah macam-macam.
Selalu mudah untuk menerima sesuatu.
Selalu
memandang hidup dengan kacamata yang sederhana. Meski dunia terus-menerus
memperumit tubuhnya.
“Kamu
tahu kenapa bulan tak datang malam ini? ” tanyanya, sambil menatap wajahku
yang tak menoleh kepadanya. Aku hanya sedikit melirik, lalu menggeleng. tanpa
ekspresi.
“Bulan
itu tak akan muncul sebelum seorang bidadari tersenyum. Makanya senyum dong.”
Aku
menarik sedikit garis bibir, tersenyum padanya. “Gombal.” Kataku kemudian.
Tahu
telor malam itu terasa begitu lebih banyak porsinya. Entah memang benar-benar
banyak atau perasaanku saja. Meski terasa lapar, tapi setelah memasukkan dua
sendok tahu telor ke dalam mulut, rasanya aku tak nafsu makan lagi.
Sementara
beberapa lalat berputar-putar di udara. Pedagang tahu telor kembali menyalakan
rokoknya, lalu lalang mobil, seperti sekumpulan roh, dan sepiring tahu telor
yang makin lama, makin tak kuasa menghabiskannya.
Hidup
seperti sebuah pertunjukan sulap. Sayang, kita bukan pemain sulapnya. Kita
hanya penonton. Penonton yang hanya bisa menduga-duga apa yang akan terjadi
selanjutnya. Yang akan bertepuk tangan jika pertunjukan mengasikkan, atau
berteriak, dan sedikit menutup mata, jika pertunjukan itu mengerikan.
Malam
itu dia mengantarkanku sampai di pemberhentian angkot yang menuju kos. Tak
seperti biasanya, dia mengantarkan sampai depan pagar tempatku tinggal . Hanya
sebuah “Hati-hati di jalan, Sha,” lirih yang hampir tak terdengar. Aku tak
menolak. Untuk pertama kalinya kulihat dia membiarkanku berjalan sendiri,
mandiri.
Akupun
tak pernah berpikir, bahwa episode makan tahu telor kami di pinggir jalan itu
adalah episode terakhir dalam hidup kami. Praja telah hilang, atau mungkin
menjadi bintang, atau mungkin telah menjadi awan yang berbentuk ikan, yang
selalu muncul di atap rumahku ketika jam 5 sore. Atau mungkin dia malah telah
menjadi bulan. Pertemuan memang tak selalu diartikan sebagai jalan mempererat
hubungan. Karena menurutku, pertemuan adalah jalan menuju perpisahan. Yang
pasti, setelah pertemuan yang perpisahan itu, wujudnya tak pernah lagi ada di
hidupku.
“Meski
seseorang itu hidup, tapi jika dia tak ada di sisi kita, bukankah sama saja dia
telah mati?” Kata seorang teman suatu hari. Entah kenapa aku begitu mengamini
kata-kata tersebut sampai saat ini.
***
Sebuah
embun yang aku namai puisi itu mungkin memang benar-benar jatuh dari langit,
(sementara Praja lebih percaya bahwa mereka datang dari air mata nenek moyang
kita). Di atas pucuk daun mangga belakang rumah perantauan, embun itu
merebahkan tubuhnya, hingga akhirnya muncrat, menyebar ke ranting-ranting pohon
trembesi, dahan daun singkong, atap kandang yang bocor, rumput pinggir jalan
dan tanah hitam yang harum.
Ketika
segala yang bernama hitam telah dihirup subuh, bunyi-bunyi saling mentasbihkan
dirinya sebagai yang pertama, aku membuka mata, tepatnya membuka masa lalu.
Memasuki sebuah ruang yang hanya ada seorang gadis belia dan dirinya di
dalamya.
Aku
memandang puluhan daun trembesi yang jatuh secara lambat dalam jendela kamarku,
seperti adegan-adegan dalam puisi. Aku menatap foto yang aku ambil di pantai
saat terakhir kali jalan-jalan bersama Praja. Matanya seakan berbicara bahwa
momen itu memang sengaja dilakukan untuk pertemuan kami terakhir kalinya. Ada
luka yang tak pernah punya definisi tentang bagaimaa rasanya.
Lamat-lamat
lagu favorit kami mengalun dari radio yang tengah kuputar, melodi gitar diikuti
cabikan bass dan drum yang mengingatkanku pada musik country. Lalu aku mulai
mengenali lagu yang kau maksud. Ini juga lagu yang Praja suka sekali liriknya.
Berapa juta orang yang mengatakan lirik lagunya ‘sederhana dan mengena’? Aku
pun beberapa di antaranya.
Di
luar daun-daun trembesi masih berguguran, burung-burung sriti masih berkejaran
dengan angin, dan mungkin ratusan kejadian lain sedang menceritakan ceritanya
sendiri. Tapi, aku tak peduli. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hari ini,
mendengarkan lagu ini.
“Hingga nanti
di suatu pagi salah satu dari kita mati, sampai jumpa di kehidupan yang lain.”
Sheila on 7 – Saat Aku Lanjut
Usia
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar