Kamis, 11 September 2014

Pertemuan di Kota Hujan (2)


 
Pertemuan memang tak selalu diartikan sebagai jalan mempererat hubungan. Karena menurutku, pertemuan adalah jalan menuju perpisahan
– Rizkia Nur Jannah, 2014

Dari balik kaca jendela kereta kami saksikan kota, penghuni dan segala drama yang ada di dalamnya ber­jalan melawan arah. Menyimpang men­jauh. Seakan semakin kami dekati, semak­in mereka tak ingin lagi dikenali.
Ketika itu aku dan Praja baru saja selesai berkunjung ke salah satu pantai di sebelah kota hujan. Pelosoknya bukan malang, tapi aku rasa pantai yang indah memang susah ditemukan. Sedikit kecewa, karena kami hanya punya waktu sebentar untuk bermain ombak liar. Pen­jaga pantai harus mensterilkan kawasan pantai dan segera menutupnya sebelum malam datang. kuambil beberapa gambar, sekedar pengingat bahwa kami pernah menjejakkan kaki di tempat ini.  
Sebenarnya aku tak terlalu mem­perdulikan pertemuan kami yang selalu singkat seperti ini. Namun keletihan-ke­letihan yang kualami sebenarnya memang sulit untuk aku sembunyikan darinya. Aku tak pernah mau terlihat lemah di matanya. Tak pernah ingin menjadi beban bagi sese­orang di sampingku. Tapi, mungkin praja bukan mereka. Dia adalah aku, bayangan­ku.
Pundak Praja adalah tempat yang amat luas. Tempat yang amat terbuka un­tukku menyandarkan hidup. Membagi episode hitam putih, abu-abu. Aku ker­ap menceritakan semua layaknya hujan pada musimnya. Praja selalu siap menjadi hutan. Hutan yang menampung segala hu­jan.
Setelah lelah menuruni gerbang kereta, kami mencari-cari sesuatu untuk mengisi perut, karena tenaga yang telah terkuras. Akhirnya, kami putuskan untuk berhenti di sebuah gerobak tahu telor. Ada beberapa gerobak makanan di sini; nasi goreng, lalapan ayam, juga mie ayam. Tapi, entahlah. Dia memutuskan untuk berhenti di sebuah gerobak tahu telor.
“Kita makan disini saja ya”, seru Praja
“Boleh.”
Kami melangkah beberapa meter ke depan. Sempat kulihat cahaya meman­tul melalu keringa         t yang mengalir di pip­inya. Satu yang aku suka dari Praja adalah dia lelaki yang tak pernah macam-macam. Selalu mudah untuk menerima sesuatu.
Selalu memandang hidup dengan kacama­ta yang sederhana. Meski dunia terus-me­nerus memperumit tubuhnya.
“Kamu tahu kenapa bulan tak da­tang malam ini? ” tanyanya, sambil mena­tap wajahku yang tak menoleh kepadanya. Aku hanya sedikit melirik, lalu mengge­leng. tanpa ekspresi.
“Bulan itu tak akan muncul sebe­lum seorang bidadari tersenyum. Makan­ya senyum dong.”
Aku menarik sedikit garis bibir, tersenyum padanya. “Gombal.” Kataku kemudian.
Tahu telor malam itu terasa begi­tu lebih banyak porsinya. Entah memang benar-benar banyak atau perasaanku saja. Meski terasa lapar, tapi setelah memasuk­kan dua sendok tahu telor ke dalam mulut, rasanya aku tak nafsu makan lagi.
Sementara beberapa lalat ber­putar-putar di udara. Pedagang tahu telor kembali menyalakan rokoknya, lalu lalang mobil, seperti sekumpulan roh, dan sepir­ing tahu telor yang makin lama, makin tak kuasa menghabiskannya.
Hidup seperti sebuah pertun­jukan sulap. Sayang, kita bukan pemain sulapnya. Kita hanya penonton. Penon­ton yang hanya bisa menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang akan bertepuk tangan jika pertunjukan men­gasikkan, atau berteriak, dan sedikit me­nutup mata, jika pertunjukan itu mengeri­kan.
Malam itu dia mengantarkanku sampai di pemberhentian angkot yang menuju kos. Tak seperti biasanya, dia mengantarkan sampai depan pagar tem­patku tinggal . Hanya sebuah “Hati-hati di jalan, Sha,” lirih yang hampir tak terden­gar. Aku tak menolak. Untuk pertama ka­linya kulihat dia membiarkanku berjalan sendiri, mandiri.
Akupun tak pernah berpikir, bahwa episode makan tahu telor kami di pinggir jalan itu adalah episode terakhir dalam hidup kami. Praja telah hilang, atau mungkin menjadi bintang, atau mungkin telah menjadi awan yang berbentuk ikan, yang selalu muncul di atap rumahku ke­tika jam 5 sore. Atau mungkin dia malah telah menjadi bulan. Pertemuan memang tak selalu diartikan sebagai jalan memper­erat hubungan. Karena menurutku, per­temuan adalah jalan menuju perpisahan. Yang pasti, setelah pertemuan yang perpi­sahan itu, wujudnya tak pernah lagi ada di hidupku.
“Meski seseorang itu hidup, tapi jika dia tak ada di sisi kita, bukankah sama saja dia telah mati?” Kata seorang teman suatu hari. Entah kenapa aku begitu mengamini kata-kata tersebut sampai saat ini.
***
Sebuah embun yang aku namai puisi itu mungkin memang benar-benar jatuh dari langit, (sementara Praja leb­ih percaya bahwa mereka datang dari air mata nenek moyang kita). Di atas pucuk daun mangga belakang rumah peran­tauan, embun itu merebahkan tubuhnya, hingga akhirnya muncrat, menyebar ke ranting-ranting pohon trembesi, dahan daun singkong, atap kandang yang bo­cor, rumput pinggir jalan dan tanah hitam yang harum.
Ketika segala yang bernama hitam telah dihirup subuh, bunyi-bunyi saling mentasbihkan dirinya sebagai yang pertama, aku membuka mata, tepatnya membuka masa lalu. Memasuki sebuah ruang yang hanya ada seorang gadis belia dan dirinya di dalamya.
Aku memandang puluhan daun trembesi yang jatuh secara lambat dalam jendela kamarku, seperti adegan-adegan dalam puisi. Aku menatap foto yang aku ambil di pantai saat terakhir kali jalan-jalan bersama Praja. Matanya seakan ber­bicara bahwa momen itu memang sengaja dilakukan untuk pertemuan kami terakhir kalinya. Ada luka yang tak pernah punya definisi tentang bagaimaa rasanya.
Lamat-lamat lagu favorit kami mengalun dari radio yang tengah kuputar, melodi gitar diikuti cabikan bass dan drum yang mengingatkanku pada musik coun­try. Lalu aku mulai mengenali lagu yang kau maksud. Ini juga lagu yang Praja suka sekali liriknya. Berapa juta orang yang mengatakan lirik lagunya ‘sederhana dan mengena’? Aku pun beberapa di antaran­ya.
Di luar daun-daun trembesi masih berguguran, burung-burung sri­ti masih berkejaran dengan angin, dan mungkin ratusan kejadian lain sedang menceritakan ceritanya sendiri. Tapi, aku tak peduli. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hari ini, mendengarkan lagu ini.

“Hingga nanti di suatu pagi salah satu dari kita mati, sampai jumpa di kehidu­pan yang lain.”
Sheila on 7 – Saat Aku Lanjut Usia
Bersambung….


*Rizkia Nur Jannah: Lahir di Lamongan, 28 Februari 1993, Pimpinan Umum LPM Perspek­tif, mahasiswi Ilmu Komunikasi UB 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar