Oleh:
Muhamad
Erza Wansyah*
Indonesia memang
sedang direpoti oleh beberapa peristiwa alam yang belakangan ini datang
berurutan. Mulai dari angin puting beliung yang menghantam Denpasar, Bali,
Gempa tektonik di wilayah Jawa Tengah, banjir bandang di Manado, erupsi
Sinabung, sampai peristiwa klasik: banjir Jakarta. Tak cukup sampai disitu, bencana ini dilengkapi oleh satu peristiwa yang
digadang-gadang memiliki dampak paling besar, yakni letusan Gunung Kelud.
Semenjak Kelud
meletus, media-media serempak memberitakan hal tersebut. Sepertinya, sorotan media memang lebih besar
tertuju padanya. Demikian pula reaksi kemanusiaan atasnya, sepertinya memang
lebih besar dibanding yang lain. Sebab, setelah H+6 terhitung dari 13 Februari
2014, masih saja ada kiriman logistik yang datang. Padahal di posko-posko masih tampak tumpukan logistik yang belum terdistribusikan. Barangkali, ini bisa
dijadikan indikator besarnya kepedulian masyarakat dalam menanggapi bencana di
Kelud.
Dengan bantuan
melimpah, para pengungsi jelas mendapat kemudahan dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Bahkan, kebutuhannya bisa lebih terpenuhi disana dari pada di rumahnya.
Sayang, hal ini justru dapat berdampak buruk. Apalagi jika pengungsi mendapat
rentang waktu lama, kebiasaan ‘dimanja relawan’ saat menjadi pengungsi bisa terbawa
ketika dia kembali di rumah.
Oleh karena itu,
tanggung jawab kemanusiaan pada dasarnya tidak hanya berkutat dalam periode
setelah bencana saja. Selain itu, tanggung jawab kemanusiaan seharusnya tidak hanya seputar penghilangan trauma dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tapi juga bagaimana cara
membuat mereka, para korban, bisa melanjutkan rutinitas seperti biasa.
Rehabilitasi Berkelanjutan
Ini yang perlu
diingat oleh para pelaku kemanusiaan. Bantuan yang berlimpah
pada pengungsi dan korban bencana, bila tidak diberikan sesuai dengan porsinya
akan memberi dampak jangka panjang, yaitu ketergantungan. Bayangkan, saat
pengungsi berada di posko
bisa mendapat makanan tanpa harus bekerja, mendapat pakaian tanpa mengeluarkan
uang, tidur berselimut, padahal biasanya tidak, dan hal lain yang bersifat memanjakan pengungsi, akan
mengurangi persiapan mereka untuk kembali ke rumah.
Ditambah lagi,
saat kembali ke rumah mereka ditabrakan dengan keterbatasan materi. Seperti
ladang yang tertutup abu, membuat para korban mengalami kerugian dan kekurangan
materi penghidupan, serta menutup lahan pekerjaan mereka. Dengan ketidaksiapan
tersebut, bisa-bisa mereka justru lebih memilih untuk kembali ke posko atau
menjadi pengemis. Seperti yang terjadi di Timor-Timur tahun 2003 silam, mantan
pengungsi, terutama anak-anak, terpaksa menjadi pengemis karena pasca-bencana mereka kehilangan materi
(gatra.com).
Pun demikian untuk anak-anak. Kondisi sekolah yang belum pulih seutuhnya
akibat fenomena alam, mengakibatkan terhambatnya proses belajar pada anak.
Psikologis para korban juga demikian. Trauma yang menimpa,
bisa muncul sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi. Bila tidak ada kesiapan dalam
menangani, tak pelak trauma
akan belanjut dan berdampak fatal. Pasca bencana, rangsangan-rangsangan tertentu bisa secara mudah memicu stress
pada korban. Seperti suara sirine mobil, suara guntur, atapun goncangan
sedikit.
Disinilah
pentingnya rehabilitasi berkelanjutan yang sekaligus merupakan tantangan kemanusiaan sesungguhnya. Bila
memang hati nurani tergerak, tidaklah hanya memberi bantuan sekilas, setelahnya
lupa bahwa dampak bencana masih melekat pada korban. Seharusnya, tidak hanya
besar di awal, kemudian tidak bertanggung jawab selanjutnya, menyerahkan
semuanya kepada ‘kesadaran’ korban dan pemerintah, singkatnya ‘tidak peduli
lagi’.
Rehabilitasi
berkelanjutan ini mencakup beragam sektor, mulai dari fisik sampai psikis,
materi sampai nonmateri, dan lainnya. Bisa dalam bentuk pembangunan,
pengobatan, pendampingan atau penyuluhan. Semuanya sesuai dengan peran
masing-masing. Bila setiap peran berfungsi dengan maksimal dan seimbang, tidak
timpang pada satu sektor, otomatis penanganan bencana akan berefek maksimal dan
menyeluruh.
Selain itu,
jangan lupa juga untuk belajar dari pengalaman. Tidak seperti sekarang ini,
gunung meletus, semua pihak kelabakan. Yang korban sibuk mencari tempat aman,
yang lain pihak sibuk mencari
dana bantuan. Ada pula yang sibuk buka posko, atau mondar-mandir dengan
ambulans berlogo partai. Seolah semuanya tidak ada persiapan. Padahal sudah
jadi rahasia umum bahwa Indonesia itu rawan bencana, tapi selalu saja
penangannya bersifat darurat tak terpusat.
Indonesia
seharusnya belajar dari Jepang soal mitigasi bencana (upaya pengurangan risiko
bencana). Di sana, berita tentang kerusakan alam dan korban akibat fenomena ini tidak
dibesar-besarkan, karena dianggap hanya membuat rasa takut semakin besar.
Pemerintahnya pun tanggap dan komprehensif dalam menangani bencana. Buku-buku
petunjuk saat letusan gunung, gempa dan tsunami datang diberikan kepada
penduduk di kawasan rawan gempa. Tembok laut dengan panjang 14km dan tinggi
12km dibangun untuk meminimalisir risiko tsunami (http://www.id.emb-japan.go.jp/). Masyarakatnya pun sadar dan sabar
mengikuti arahan pemerintah dalam menanggulangi bencana.
Pengetahuan soal
menjadi relawan bencana juga perlu digalakan. Sehingga, siapa yang berangkat
untuk menjadi relawan telah memiliki bekal cukup untuk mengatasi korban. Tidak
kosong, hanya bermodal
‘nekat’ dan ‘nurani’ dalam menangani korban. Alih-alih membantu, malah menyusahkan nantinya, seperti aktivis
mahasiswa di sana yang meninggal saat mencoba menjadi relawan di Sinabung.
Di luar itu
semua, bahwa apa yang selama ini disebut ‘bencana’, tidak selamanya merugikan,
tapi juga bisa menjadi berkah. Tanpa letusan Sinabung 1200 tahun yang lalu,
tidak akan ada Jeruk Medan. Tanpa Gunung Gede, kita tidak pernah bisa
membanggakan Beras Cianjur. Sayuran bermutu banyak dari
Lembang karena di situ ada Tangkuban Perahu (kompas, 15 Februari, 2014).
*Mahasiswa Psikologi 2010, Staff LPM Perspektif, Koordinator
Divisi Jaker Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar