Dari Kanan : Agus Noor, Djoko Saryono, dan Putu Fajar Arcana saat
mengisi diskusi Santap Gagasan di Kafe Pustaka, Universitas Negeri Malang,
Jumat (23/10)
Malang, PERSPEKTIF - Terbuka lebarnya gerbang
kebebasan berekspresi pasca reformasi berimbas pada semakin banyaknya orang
yang memproduksi berbagai wacana karya sastra, seperti yang diungkapkan oleh
Agus Noor, dalam acara diskusi Santap Gagasan yang diselenggarakan oleh UKM
Penulis Universitas Negeri Malang, bekerja sama dengan Pelangi Sastra Malang
pada Jumat, (23/10) di Kafe Pustaka Universitas Negeri
Malang.
“Dengan semakin majunya teknologi, orang-orang
beramai-ramai untuk mereproduksi karya. Persaingan yang semakin ketat,
menjadikan karya sastra Indonesia hanya berorientasi kepada komersialitas.
Estetika dan jalan tidak begitu diperhitungkan,” ujarnya.
“Kumpulan buku puisi terbaik Rendra yang dicetak
tiga ribu eksemplar, laku dalam kurun waktu sepuluh tahun. bandingkan dengan
kumpulan buku puisi galau yang dicetak dengan eksemplar yang sama, dalam sehari
sudah ada lima ratus yang terbeli. Buku-buku tersebut hanya berlandaskan pada
pemuasan para pembaca, sehingga ciri khas karya sastra Indonesia sekarang
menjadi kabur,” tambah sastrawan penulis monolog Matinya Sang Kritikus
tersebut.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Putu Fajar
Arcana, sastrawan yang kini bekerja sebagai editor sastra Kompas Minggu. Ia
mengkritik sastra Indonesia yang saat ini kehilangan arah dengan ciri-ciri
sastra Indonesia yang menjadi bias.
“Orang lebih suka bekerja kreatif dan meningkatkan
popularitasnya dengan ramai-ramai memproduksi karya sastra, tetapi jarang
mengamati dan mengapresiasi karya sastra tahun 2000-an,” ungkap pria yang biasa
disapa Bang Can itu. (kmb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar