Sore itu aku keluar dari sebuah
coffee shop dekat taman kota. Seperti biasa ketika ada waktu luang aku selalu
mampir ke tempat ini untuk menikmati secangkir kopi. Sendiri, ya, aku menyukai
kesendirian. Cukup ditemani minuman pekat dan novel kesukaan, aku bisa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk sejenak melepas lelah dari aktivitas
sehari-hari. Selesai bersantai di coffee shop, aku tidak langsung melangkahkan
kaki menuju rumah. Seorang gadis berpakaian lusuh yang duduk di bangku taman
menyita perhatianku. Di sampingnya terdapat sekotak plastik berisikan roti yang
ia jual. Aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu dan membeli beberapa roti
sebelum kembali ke rumah. Gadis itu menyapa ku dengan ramah, tetapi dari dekat
aku dapat melihat kelelahan di wajahnya serta sorot mata penuh kesedihan.
Sekedar berbasa-basi, aku bertanya apakah ia berjualan sehabis pulang sekolah.
Kemudian ia menggeleng pelan lalu bercerita bahwa dirinya tidak melanjutkan
sekolah sejak beberapa bulan yang lalu, karena ayahnya mengalami kebangkrutan.
Hal yang semakin membuat iba, ayah gadis itu menjadi stress dan tidak mau
mencari nafkah lagi. Terpaksa ia memilih untuk berhenti sekolah di kelas 2 sma,
dan bekerja mencari uang mulai dari mengumpulkan botol bekas, menjual koran,
serta menjual roti. Sudah setengah jam aku berbincang dengan gadis itu, sebelum
beranjak dari bangku taman, aku menepuk bahunya untuk memberikan semangat.
Keesokan hari, aku teringat dengan
gadis penjual roti yang kutemui kemarin sore. Lantas sepulang kuliah, aku
melewati taman kota berharap untuk menemuinya kembali. Benar saja, ia sedang
duduk di tempat yang sama dengan baju lusuh yang ia kenakan sama seperti
kemarin. Kesedihan semakin terpancar dari kedua matanya. Aku heran apa yang
terjadi pada gadis itu, mata sembab, pelipis luka, dan lengan lebam. Sepenggal
kisah pilu mulai meluncur dari mulutnya “Kemarin ayahku pulang pukul dua pagi,
aku sedang tidur dan terlambat membukakan pintu untuknya. Ia pulang dalam
keadaan mabuk dan marah besar. Aku di dorong hingga jatuh tersungkur lalu
dipukuli beberapa kali olehnya.” Bulir – bulir air mata mengalir di pipi tirus
itu. Aku merasa sangat prihatin. Belum sempat aku menanggapi ceritanya, muncul
suatu perkataan yang membuat ku tercengang. “kak, mungkin ini terakhir kali
kita akan bertemu, aku tidak pernah mengalami beban seberat ini dan aku benar –
benar tidak sanggup lagi menjalani kehidupan.” Aku pun memeluk tubuhnya dan
meminta ia untuk tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Apapun yang terjadi kau
tidak boleh menyerah. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melampaui batas
kekuatan. Pasti ada hikmah dari semua cobaan dan bencana hidup yang kita
alami.” Ia hanya terdiam mendengar ucapan ku. Tidak banyak yang dapat aku
lakukan untuk membantu menyelesaikan masalahnya, aku tidak memiliki banyak
uang, bahkan uang per bulan yang dikirimkan oleh orang tua ku kadang masih
terasa kurang. Walau bagaimanapun aku berniat membantu gadis ini agar ia
kembali memiliki semangat hidup. Aku meminta agar esok pagi ia datang lagi
kesini dan aku berjanji akan membantu semampu ku. Meski hanya sebagai teman
yang selalu ada untuk menghiburnya dan bersedia mendengar segala kesedihan
untuk berbagi beban.
Tanggal 31 pada bulan itu
bertepatan dengan hari minggu, taman kota ramai dikunjungi oleh orang-orang.
Ada yang berolahraga, ada pula yang membawa keluarganya yang masih kecil untuk
bermain. Tetapi tidak terlihat seseorang yang kucari, gadis dengan rambut
sebahu dan pakaian compang-camping. Satu jam aku menunggu lamanya,
Pikiran-pikiran negatif mulai merayapi pikiran dan perasaanku. Bagaimana jika
sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ah, untung saja kehadiran gadis mungil dari
kejauhan memusnahkan segala pikiran negatif yang mengganggu otakku. Gadis itu
terlihat berbeda, ia mengenakan baju putih bersih, dan sepatu bermotif bunga
yang sangat cantik. Ia berlari kecil menghampiri ku dengan senyum ceria terhias
di wajahnya. Seluruh permasalahan yang ia miliki seakan telah lenyap. Aku
berkata, begini lah seharusnya seorang remaja terlihat, penuh keceriaan dan
suka cita. Ia membalas perkataan ku dengan senyuman dan mengajak ku untuk
berjalan – jalan. Pertama kami mengunjungi toko buku, ternyata kami memiliki
kegemaran yang sama yaitu membaca berbagai macam buku. Aku juga mentraktir ia
makan di restaurant, untuk gadis dengan tubuh mungil ia makan cukup banyak, dan
melihatnya makan dengan lahap membuat ku merasa senang. Malam harinya, aku
mengajak ia datang ke kampusku untuk menonton festival musik yang diadakan
disana. Sungguh hari yang sangat bahagia, gadis itu seolah dapat bangkit dari
keterpurukan dan kembali memiliki hidup yang menyenangkan. Namun sesuatu terasa
janggal, sadarkah kalian bahwa tanggal 31 di bulan Juni tidak pernah ada?
Malang, Juni 2012
Tentang Penulis:
*Syifa Nadia
Penulis merupakan mahasiswi jurusan
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya. Saat ini ia aktif berproses di LPM Perspektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar