Jumat, 09 Oktober 2015

Gadis Penjual Roti

Sore itu aku keluar dari sebuah coffee shop dekat taman kota. Seperti biasa ketika ada waktu luang aku selalu mampir ke tempat ini untuk menikmati secangkir kopi. Sendiri, ya, aku menyukai kesendirian. Cukup ditemani minuman pekat dan novel kesukaan, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sejenak melepas lelah dari aktivitas sehari-hari. Selesai bersantai di coffee shop, aku tidak langsung melangkahkan kaki menuju rumah. Seorang gadis berpakaian lusuh yang duduk di bangku taman menyita perhatianku. Di sampingnya terdapat sekotak plastik berisikan roti yang ia jual. Aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu dan membeli beberapa roti sebelum kembali ke rumah. Gadis itu menyapa ku dengan ramah, tetapi dari dekat aku dapat melihat kelelahan di wajahnya serta sorot mata penuh kesedihan. Sekedar berbasa-basi, aku bertanya apakah ia berjualan sehabis pulang sekolah. Kemudian ia menggeleng pelan lalu bercerita bahwa dirinya tidak melanjutkan sekolah sejak beberapa bulan yang lalu, karena ayahnya mengalami kebangkrutan. Hal yang semakin membuat iba, ayah gadis itu menjadi stress dan tidak mau mencari nafkah lagi. Terpaksa ia memilih untuk berhenti sekolah di kelas 2 sma, dan bekerja mencari uang mulai dari mengumpulkan botol bekas, menjual koran, serta menjual roti. Sudah setengah jam aku berbincang dengan gadis itu, sebelum beranjak dari bangku taman, aku menepuk bahunya untuk memberikan semangat.

Keesokan hari, aku teringat dengan gadis penjual roti yang kutemui kemarin sore. Lantas sepulang kuliah, aku melewati taman kota berharap untuk menemuinya kembali. Benar saja, ia sedang duduk di tempat yang sama dengan baju lusuh yang ia kenakan sama seperti kemarin. Kesedihan semakin terpancar dari kedua matanya. Aku heran apa yang terjadi pada gadis itu, mata sembab, pelipis luka, dan lengan lebam. Sepenggal kisah pilu mulai meluncur dari mulutnya “Kemarin ayahku pulang pukul dua pagi, aku sedang tidur dan terlambat membukakan pintu untuknya. Ia pulang dalam keadaan mabuk dan marah besar. Aku di dorong hingga jatuh tersungkur lalu dipukuli beberapa kali olehnya.” Bulir – bulir air mata mengalir di pipi tirus itu. Aku merasa sangat prihatin. Belum sempat aku menanggapi ceritanya, muncul suatu perkataan yang membuat ku tercengang. “kak, mungkin ini terakhir kali kita akan bertemu, aku tidak pernah mengalami beban seberat ini dan aku benar – benar tidak sanggup lagi menjalani kehidupan.” Aku pun memeluk tubuhnya dan meminta ia untuk tidak memiliki pemikiran seperti itu. “Apapun yang terjadi kau tidak boleh menyerah. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kekuatan. Pasti ada hikmah dari semua cobaan dan bencana hidup yang kita alami.” Ia hanya terdiam mendengar ucapan ku. Tidak banyak yang dapat aku lakukan untuk membantu menyelesaikan masalahnya, aku tidak memiliki banyak uang, bahkan uang per bulan yang dikirimkan oleh orang tua ku kadang masih terasa kurang. Walau bagaimanapun aku berniat membantu gadis ini agar ia kembali memiliki semangat hidup. Aku meminta agar esok pagi ia datang lagi kesini dan aku berjanji akan membantu semampu ku. Meski hanya sebagai teman yang selalu ada untuk menghiburnya dan bersedia mendengar segala kesedihan untuk berbagi beban.

Tanggal 31 pada bulan itu bertepatan dengan hari minggu, taman kota ramai dikunjungi oleh orang-orang. Ada yang berolahraga, ada pula yang membawa keluarganya yang masih kecil untuk bermain. Tetapi tidak terlihat seseorang yang kucari, gadis dengan rambut sebahu dan pakaian compang-camping. Satu jam aku menunggu lamanya, Pikiran-pikiran negatif mulai merayapi pikiran dan perasaanku. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Ah, untung saja kehadiran gadis mungil dari kejauhan memusnahkan segala pikiran negatif yang mengganggu otakku. Gadis itu terlihat berbeda, ia mengenakan baju putih bersih, dan sepatu bermotif bunga yang sangat cantik. Ia berlari kecil menghampiri ku dengan senyum ceria terhias di wajahnya. Seluruh permasalahan yang ia miliki seakan telah lenyap. Aku berkata, begini lah seharusnya seorang remaja terlihat, penuh keceriaan dan suka cita. Ia membalas perkataan ku dengan senyuman dan mengajak ku untuk berjalan – jalan. Pertama kami mengunjungi toko buku, ternyata kami memiliki kegemaran yang sama yaitu membaca berbagai macam buku. Aku juga mentraktir ia makan di restaurant, untuk gadis dengan tubuh mungil ia makan cukup banyak, dan melihatnya makan dengan lahap membuat ku merasa senang. Malam harinya, aku mengajak ia datang ke kampusku untuk menonton festival musik yang diadakan disana. Sungguh hari yang sangat bahagia, gadis itu seolah dapat bangkit dari keterpurukan dan kembali memiliki hidup yang menyenangkan. Namun sesuatu terasa janggal, sadarkah kalian bahwa tanggal 31 di bulan Juni tidak pernah ada?





Malang, Juni 2012


Tentang Penulis:
*Syifa Nadia
Penulis merupakan mahasiswi jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini ia aktif berproses di LPM Perspektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar