Selasa, 01 September 2015

Pendidikan Tinggi Tak Seharusnya Komersial

Membaca Fenomena Pendidikan Tinggi di Indonesia

Baru-baru ini World Bank merumuskan resep dan paradigma baru dalam pendidikan yang disebut sebagai reformasi pendidikan tinggi. World Bank, dalam mempromosikan paradigma baru tersebut jelas mengadopsi gagasan-gagasan utama Neo-liberalisme yaitu privatisasi, deregulasi dan marketisasi. Ciri khas gagasan-gagasan neoliberal adalah privatisasi. Revrisond Baswir mengungkapkan privatisasi adalah pengalihan hak kepemilikan public ke kepemilikan swasta dan bertujuan menata ulang struktur perekonomian agar sesuai dengan kepentingan neoliberal.

Implementasinya jelas, pendidikan diarahkan mengikuti logika pasar dan menjadi komersial. Perguruan Tinggi atau Universitas perlahan berubah fungsi dari institusi yang bertujuan mendidik manusia menjadi jasa penyedia pendidikan, demikian halnya mahasiswa menjadi konsumen universitas. Dalam konteks pendidikan, ketika universitas mengadopsi logika privat, universitas mulai mencari cara bagaimana mengelola sumberdaya pendidikan yang tepat dan bertujuan mencari profit. Di sisi lain jumlah mahasiswa semakin menggelembung dan tidak bisa tidak rasio jumlah pengajar dan mahasiswa semakin timpang.

Di Indonesia, resep World Bank ini diwujudkan melalui kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Negeri. Mekanismenya biaya pendidikan yang dibebankan oleh universitas kepada setiap mahasiswa akan berbeda menyesuaikan kemampuan finansialnya bergantung tingkat pendapatan orang tua. Mahasiswa yang memiliki dukungan finansial yang mapan mendapat porsi biaya yang lebih besar dibandingkan mahasiswa yang kurang mampu. Perbedaan biaya yang terjadi melalui mekanisme UKT malah menyebabkan terciptanya kelas sosial baru. Mahasiswa yang didukung kemampuan finansial mapan seolah-olah memberikan “subsidi” bagi yang lain.

Persoalannya ialah apakah sudah ada rancangan atau kebijakan yang mengatur jumlah maksimal biaya yang harus dibayarkan melalui UKT? Jika tidak, maka yang menjadi kekhawatiran penulis adalah potensi akan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk memberikan pendidikan yang cukup pada anaknya. Peningkatan nominal UKT jelas akan menjadi pos baru bagi sumber pendapatan universitas dan berbanding lurus dengan semakin mahalnya biaya pendidikan.

Pendidikan Adalah Gerakan

“Pendidikan adalah gerakan” adalah jargon baru yang digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menjadi harapan bagi pendidikan Indonesia secara umum. Jargon tersebut merefleksikan komitmen bahwa pendidikan adalah sebuah gerakan yang berjenjang, menjangkau semua kalangan dan yang paling penting adalah gerakan yang kontinyu.

Berbeda dengan meningkatnya fenomena komersialisasi pendidikan tinggi, jargon tersebut membuat masyarakat layak berharap banyak terhadap komitmen yang tertuang melalui jargon tersebut. Sebab melalui komitmen terhadap pendidikan-lah pembangunan negeri bisa diwujudkan.
Rifky Pramadani
Anggota Divisi Sastra LPM PERSPEKTIF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar