Minggu, 27 September 2015

Meneroka Sastra Indonesia Terkini: Menghadapi Fenomena ‘Tsunami Karya Sastra’



 

Raudal Tanjung Banua (Tengah) dan Djoko Saryono (Kanan) saat mengisi di acara Sarasehan Sastra Balai Bahasa di Kafe Pustaka Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang Sabtu (26/9). (Kumba/Perspektif)
Malang, PERSPEKTIF - Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, bekerja sama dengan Pelangi Sastra Malang menyelenggarakan acara Sarasehan Sastra yang dilaksanakan pada Sabtu, (26/9) bertempat di Kafe Pustaka Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang (UM). Dalam acara kali ini, hadir Raudal Tanjung Banua, peraih penghargaan puisi terbaik Sih Award dari Jurnal Puisi. Turut juga mengisi acara diskusi, Djoko Saryono, Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang.

Acara diskusi yang dimulai sekitar pukul 14.00 WIB ini, bertema Meneroka Sastra Indonesia Terkini. Dalam kesempatannya, Raudal menyampaikan bahwa warisan sastra Indonesia dari pendahulu, tak lantas berhenti dan menghilang begitu saja. Ia mengungkapkan bahwa perkembangan sastra Indonesia, berasal dari warisan sastra terdahulu, kemudian berkembang menjadi berbagai macam karya sastra sebagai akibat dari perngembangan ide dan kreativitas, menjadi kategori-kategori yang berbeda. Sehingga, karya sastra Indonesia sekarang tidak terbatas pada konsep warisan sastra terdahulu.


“Sejauh ini, tidak ada lagi batas-batas antar karya, namun sudah melebur menjadi satu menjadi kategori-kategori baru dalam karya sastra,” ungkap pria kelahiran Sumatera Barat tersebut.

Di lain sisi, Djoko Saryono mencoba untuk mengkritisi terhadap fenomena karya-karya sastra modern yang sekarang sedang menjamur di kalangan masyarakat. Beliau menanggapi fenomena tersebut bahwa masyarakat Indonesia kini tengah berada dalam sebuah situasi, dimana gravitasi norma, aturan, etika dan doktrin sedang tergusur. Salah satunya adalah dalam hal sastra. Beliau menganalogikan apa yang kita hadapi sekarang adalah sebagai sebuah ‘Tsunami karya sastra’. Sehingga, mengaburkan aspek-aspek penting dari karya sastra itu sendiri.

“Yang namanya tsunami, apapun selalu bercampur menjadi satu. Antara air bening, air keruh dan kotoran, semua menjadi satu. Begitulah yang kita hadapi sekarang, yaitu sebuah gelombang tsunami karya sastra,” pungkasnya. (kmb)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar