Kamis, 30 April 2015

Film Alkinemokiye, Potret Buram Pertambangan di Indonesia



Malang, PERSPEKTIF – Film Alkinemokiye merupakan film dokumenter yang menyajikan cerita perjuangan warga Papua dalam melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh PT. Freeport, perusahaan pertambangan emas terbesar di Indonesia yang berlokasi di Timika, Papua. Film karya Dandhy Dwi Laksono ini sekaligus menggambarkan bagaimana keadaan pertambangan di Indonesia yang sebenarnya.

 Hal itu diungkapkan oleh dosen Ilmu Pemerintahan bidang kajian pemerintah lokal dan isu-isu politik lingkungan, Rabu (29/04), di lantai 7 Gedung Prof. Yogi Sugito FISIP UB. “Film tadi itu sebenarnya hanya menyajikan satu sisi dari potret buram pertambangan di Indonesia,” kata Lukman Hakim pada acara diskusi film Alkinemokiye yang digagas oleh mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Ghasan Tsaqafi dan Dzaki Nur Wahid.

 Lukman menyebutkan, umumnya pertambangan mengakibatkan adanya pelanggaran HAM, pengusiran warga asli di sekitar pertambangan, maupun suku-suku pedalaman. Hal itu tidak hanya terjadi di Papua tetapi dimana-mana. Seperti yang digambarkan di film Alkinemokiye, buruh PT. Freeport tidak mendapatkan upah yang adil. Begitu pula dengan pensiunan PT. Freeport tidak mendapatkan uang pensiunan yang sesuai. Selain itu, kekerasan terhadap warga Papua yang menggelar demonstrasi menuntut kenaikan upah juga mewarnai film berdurasi 1 jam 10 detik tersebut.

 “Dari film tadi, bukan hanya persoalan HAM, bukan hanya soal ketidakadilan upah. Tapi adalah soal lingkungan,” lanjut Lukman. Ia menjelaskan tentang pembuangan 1,2 milyar ton limbah hasil pemisahan biji emas dengan tanah ke sungai.

 Diskusi yang dimulai pada pukul 15.30 WIB itu juga memunculkan berbagi pendapat dari peserta tentang perjuangan warga Papua melawan PT. Freeport. Peserta diskusi bukan hanya dari mahasiswa semua jurusan di FISIP tetapi juga organisasi-organisasi luar kampus, organisasi kedaerahan seperti organisasi mahasiswa asal Papua, Lembaga Pers Mahasiswa FIA UB (Dianns), komunitas Kalimetro, dan komunitas Tjangkir 13.

 Salah satu peserta diskusi, Nano, mengungkapkan pendapat. “Tingkat upah (buruh) tadi 3,5 juta sedangkan direktur PT. Freeport diupah 1,8 triliun. Itu adalah simbol ketidakadilan,” kata mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional itu. Ia juga menyakini, ini merupakan momentum bagi mahasiswa FISIP untuk menyuarakan ide-ide perlawanan. Dengan lantang pula, Nano menyatakan, Indonesia sekarang ini sudah tidak merdeka lagi secara ekonomi karena telah dikuasai oleh kapitalisme.

 Peserta diskusi yang lain, Obe Rina Beka, mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2014 yang berasal dari Timika pun mengakui adanya ketidakadilan yang terjadi di Papua. Ia menegaskan bahwa cerita di film Alkinemokiye sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. (aw)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar