Oleh: Muhammad Choirul A.*
"Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan,mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Begitulah kutipan
isi yang terdapat dalam Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2. Tak
tanggung-tanggung, ketentuan terkait kebebasan berekspresi di Indonesia
langsung tertuang dalam UUD 1945, dasar negara ini. Tak cukup sampai disitu,
sejumlah aturan turunan dari UUD 1945 juga menjamin terlaksananya kebebasan
berekspresi, seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.
44 tahun 1999 tentang Pers.
Jika mengacu pada
berbagai undang-undang di atas, setiap orang yang dijamin kebebasan
berekspresinya tanpa memandang latar belakang orang tersebut. Namun sayang,
kebebasan berekspresi masih sering dikekang oleh orang atau kelompok yang
berkarakter fasis.
Ironisnya,
mahasiswa yang digadang-gadang sebagai kaum intelektual, tak kalah fasis dengan
birokrat yang acap kali mendapat kritik. Memang, tidak semua mahasiswa gemar
membungkam kebebasan berekspresi. Hanya saja, dalam momen-momen tertentu,
seperti Ospek, tiba-tiba banyak mahasiswa, khususnya yang terlibat dalam
kepanitiaan, berubah menjadi semacam makhluk yang tidak memanusiakan manusia.
Bentak-membentak
dan perploncoan menjadi lazim dalam pelaksanaan Ospek di hampir tiap zaman.
Selain itu, ada hal lain yang cukup menyakiti akal sehat dan menodai predikat
kaum intelektual. Panitia Ospek memaksa (mungkin dengan ancaman) agar mahasiswa
baru tidak menerima edaran dalam bentuk apapun ketika mobilisasi kepulangan.
Hal itu membuat sejumlah institusi pers mahasiswa yang sah, kesulitan
membagikan produknya.
Padahal, jika
melihat UUD 1945, setiap orang termasuk mahasiswa baru berhak berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah. Di lain
pihak, pers mahasiswa juga dijamin untuk menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Dengan kondisi
yang seperti ini, sudah selayaknya mahasiswa, utamanya yang terlibat dalam kepanitiaan,
lebih banyak lagi belajar menjadi manusia yang bias memanusiakan manusia lain.
Biar bagaimana pun, kebebasan berekspresi merupakan hak setiap orang. Tentu
saja, hak berekspresi harus disertai dengan etika dan tata cara yang elegan.
Dengan terjaminnya kebebasan berekspresi, niscaya bangsa ini bakal kaya akan
wacana yang mutlak diperlukan bagi pencerdasan dan pembangunan bangsa ini.
*Editor LPM
Perspektif, mantan wartawan Malang Post.
Yang nulis ini ganteng banget :D
BalasHapus