Kalau
aku ingat-ingat lagi, mestinya itu tahun 1978. Waktu itu banyak mahasiswa
belagak demo, padahal memang tidak niat masuk kuliah. Salah satu pendemo itu
kawanku, teman sekamar kosku. Tarmizi namanya.
Tarmizi
bilang padaku, ia sebenarnya cuma ikut-ikutan. Biar dibilang anak aksi,
katanya. Dia juga rajin ronda malam di kampus, genjrang-genjreng, joged-joged,
mabuk-mabuk. Waktu aku tanya, ‘buat apa sih sampai segitunya, nggak kasian toh
sama orang tua?’ Tarmizi waktu itu terhenyak dengan pertanyaanku. Sedikit kaget
Tarmizi, ketika orang tua dibawa-bawa dalam kehidupan kampusnya. Tapi, kagetnya
hanya sekejap. Habis itu Tarmizi dengan santainya mengajak aku mabuk. “Hidup
harus dirayakan bung”, katanya.
Aku
kenal Tarmizi sebagai seorang laki-laki yang boleh dibilang nyeni, atau mungkin
nyentrik lebih tepatnya. Gayanya selengean, rambutnya digondrong-gondrongkan,
stelan pakaiannya ya itu-itu saja. Saban hari kerjaannya cuma main suling yang
ia bawa dari kampungnya. Suling ini sakti katanya, bisa manggil jin.
Sehabis
ribut-ribut tahun ‘78 itu, aku dengar bahwa mas Rendra, penyair itu, hampir
masuk bui karena puisinya. Aku kaget juga, cuma karena puisi orang bisa
ditahan. ‘Wah, edan juga ini!’ aku pikir. Tarmizi pun tidak kalah kagetnya dari
aku. Ia bahkan sibuk bikin pamflet-pamflet darurat yang gambarnya ia lukis
sendiri. Tolak Bedebah Nekolim tulisannya. Semua pelosok dinding kampus habis
ditempelinya, sampai ke kamar kami. ‘Ini kamar sudah seperti galeri poster propaganda
blok timur saja,’ aku bilang padanya. Tarmizi, dengan rokok yang dikebulnya,
menjawab santai, “Demi rakyat ini harus dilakukan,” katanya.
Aku
bilang, “Rakyat yang mana?”
"Rakyat
mahasiswa," dia bilang. Kata mahasiswa itu juga rakyat. “Gak boleh dikadalin
sama Orba. Tahun ’66 kita sudah dilabelin sebagai agen perubahan sama
penunggang kita. Itu tahi kucingnya angkatan darat buat mensukseskan kudeta
mereka,” imbuhnya. “Kita sudah berdosa dengan menelurkan tritura itu”, katanya
lagi, masih dengan kebulan rokoknya.
Aduh,
Tarmizi! Kalau aku ingat-ingat lagi tentang dia, ternyata masa mahasiswaku
sungguh romantik. Semalaman suntuk, beserta kopi dan rokok Samsu, kami bisa
berdiskusi banyak hal. Mulai dari remeh temeh elit kampus, busuknya dewan
jendral, sampai ke getir pahitnya asmara. Hal yang terakhir, memang bahan
diskusi yang paling panjang.
Tarmizi
pernah bilang padaku, bahwa Fatimah, jurnalis pers kampus kami, adalah
perempuan satu-satunya dalam hidupnya. Katanya, Fatimah sekaligus cintanya yang
tidak bisa dikejar. Dia selalu bilang bahwa dia dan Fatimah selalu beda halte.
Entah maksudnya apa, mungkin baginya, dunianya dan Fatimah seperti Halte,
tempat persinggahan untuk menuju pemberhentian selanjutnya. Namun sayangnya,
yang mereka tunggu bukan angkot yang sama. Entahlah. Tapi, mungkin saja. Toh,
ini hanya caraku meromantikkan pernyataan Tarmizi. Sayangnya, Tarmizi memang
sial. Sampai Fatimah wisuda, Tarmizi malah drop out.
Tarmizi,
waktu ia di-drop out, dengan bersemangat tinggi ia katakan padaku, “kemerdekaan
itu harus dikejar terus bung! Harus direbut dari nekolim!”
bilang
padanya, “Tapi kenapa cintamu tidak kau kejar?”
Tarmizi,
dengan suara yang sedikit dimabuk-mabukkan berkata, “Cinta itu belenggu bung.
Mana ada kemerdekaan yang membelenggu.”
Sampai
saat ini, aku selalu merasa kasihan pada Tarmizi, ia menjunjung tinggi
kemerdekaan sebagai alat pembebas belenggu manusia, tapi ia malah dibelenggu
hasratnya terhadap kemerdekaan. Sayang sekali, Fatimah pun tidak pernah tahu
siapa itu Tarmizi. Kalau mungkin aku bertanya pada Fatimah, apakah dia tahu
Tarmizi, mungkin dia akan menjawab:
“Tukang
pamflet itu?”
Sial
benar kawan. Sungguh sial benar. Mungkin Marx, Engels, Lenin, bahkan Ibnu Sina
tidak pernah mampu mengajarkan Tarmizi bahwa cinta itu harus dikejar. Bagi
mereka, itu remeh-temeh yang harus dipahami Tarmizi sendiri. Tapi, Tarmizi
memang sial kepalang tanggung. Bahkan, banyak membaca ternyata tidak bisa
merubah peruntungan seseorang. Sampai suatu hari, ketika pagi-pagi istriku membuatkan
kopi, ingatanku melayang pada Tarmizi. ‘Kenapa waktu itu Tarmizi tidak cari
dukun pelet ya?’ pikirku.
*Karya Lalu Imaduddin Arifin: Lahir di Masbagik, 21 November, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UB 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar