Oleh: Nuril
Putri M. R.*
Pergantian
kepemimpinan pada Oktober 2014 lalu merupakan momen krusial bagi dinamika
politik luar negeri Indonesia. Sebab, dipastikan akan terjadi perubahan fokus
diplomasi yang menjadi kunci penting aksi Indonesia dalam dunia internasional. Diplomasi
untuk rakyat atau People’s Diplomacy
yang digagas Pemerintahan Jokowi merupakan bentuk rekonsepsi dari diplomasi
banyak kawan nol musuh SBY.
Rekonsepsi
diplomasi yang dicetuskan pemerintah baru ini menarik. Hal ini karena diplomasi
untuk rakyat ini lebih memfokuskan pada pencapaian kepentingan nasional
daripada sekedar membangun citra untuk mencari banyak kawan dan meminimalisir musuh.
Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa konsep People’s
Diplomacy ini adalah bentuk aktivitas diplomasi yang pro-rakyat. Meski ada
yang mengkritik bahwa diplomasi pro-rakyat ini terkesan tidak jelas, Menteri
luar negeri, Retno Marsudi, telah melakukan lima gebrakan sebagai wujud
implementasi konsep diplomasi tersebut antara lain pemberdayaan diaspora,
perlindungan pekerja migran Indonesia, pengaktifan diplomasi ekonomi,
pelaksanaan diplomasi yang tegas tapi tidak konfrontatif, dan melakukan kajian
rutin dengan LSM untuk menentukan kerangka diplomasi yang sesuai.
Namun, dari lima implementasi diplomasi
untuk rakyat ini, ada satu hal yang luput dari pelaksanaan yakni perhatian
terhadap masyarakat perbatasan. Kasus warga RI di perbatasan
Kalimantan-Malaysia yang memiliki KTP Ganda (WNI dan Identitas Malaysia)
merupakan salah satu bukti bahwa diplomasi untuk rakyat juga harus mencakup
permasalahan warga perbatasan. Selama ini, belum ada langkah tegas dari
pemerintah Malaysia ataupun Indonesia untuk mengatur masalah perbatasan yang
sering memicu konflik. Selain itu, pemerintah Indonesia sendiri juga kurang
memberi perhatian yang khusus terhadap wilayah perbatasan. Padahal, stabilitas wilayah
perbatasan dapat memengaruhi hubungan bilateral kedua negara yang berbatasan
langsung.
Untuk menyelesaikan masalah
tersebut, salah satu cara yang dapat ditempuh pemerintahan Jokowi adalah
mengimplementasikan diplomasi perbatasan (border’s
diplomacy) dengan menyertakan masyarakat/pemerintah daerah setempat untuk
aktif dalam kegiatan diplomasi. Penyertaan partisipasi masyarakat perbatasan
dalam kegiatan diplomasi memiliki beberapa keuntungan. Bagi masyarakat
perbatasan, kegiatan ini dapat menjamin adanya peningkatan fasilitas dan akses
di dan ke wilayah tempat tinggal mereka demi menjaga kelancaran kegiatan
diplomasi. Dengan begitu, harapan pemerataan pembangunan juga akan segera
terwujud. Sedangkan bagi negara, masyarakat perbatasan dapat menjadi alat
diplomasi bilateral yang efektif, khususnya diplomasi dengan negara tetangga
yang berbatasan langsung.
Keuntungan lain dari implementasi
diplomasi perbatasan adalah meningkatkan rasa kepemilikan (sense of belonging) rakyat kepada Indonesia. Rasa kepemilikan ini
dapat dipicu dengan menumbuhkan kebanggaan menjadi simbol perwakilan Indonesia
di negara tetangga. Apabila sudah tertanam rasa kepemilikan yang kuat, maka dapat
dipastikan tidak ada lagi kasus lepasnya wilayah perbatasan Indonesia menjadi
wilayah kedaulatan Malaysia seperti Sipadan, dan Ligitan. Sehingga konflik krusial
tentang batas wilayah antarnegara pun dapat dihindari.
Untuk mewujudkan ide diplomasi
perbatasan ini, perlu penggabungan konsep diplomasi oleh warga (Citizen Diplomacy) dan paradiplomasi
(diplomasi multilevel) yang menyertakan dua pemerintah daerah perbatasan
Malaysia dan Indonesia. Konsep paradiplomasi dapat diterapkan untuk menetapkan
kerangka legal formal kesepakatan dua negara sedangkan diplomasi warga sebagai
wujud nyata implementasi diplomasi oleh masyarakat perbatasan. Contoh
implementasinya dapat berupa inisiasi kedua pemerintah daerah untuk mengadakan kegiatan
kerjasama/persahabatan. Hal ini ditujukan untuk memupuk solidaritas warga
perbatasan seperti kerjasama ekonomi, pertukaran pelajar, bahkan pagelaran
budaya. Penekanan kegiatan kerjasama ini terletak pada identitas negara yang menjadi
bekal penting bagi masyarakat pelaku diplomasi. Sehingga, kegiatan yang
dilakukan bukan hanya sekedar kegiatan warga biasa semata tetapi merupakan
bentuk kegiatan kenegaraan.
Namun,
implementasi konsep paradiplomasi cenderung sulit diterapkan oleh pemerintah
daerah perbatasan. Sebab, pemerintah daerah selama ini terkungkung pada
pencarian solusi untuk menjalin akses antara daerah dan pusat. Akibatnya, peluang
kerjasama paradiplomasi ini kurang mendapat perhatian. Padahal kerjasama
paradiplomasi ini dapat menjadi alternatif pembangunan perbatasan yang cukup
efektif bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu membuat
kerangka kerjasama paradiplomasi yang sebelumnya telah dinegosiasikan terlebih dahulu
secara bilateral dengan pemerintah Malaysia. Setelah tercapai kesepakatan, barulah
pemerintah Indonesia dapat merumuskan aturan untuk pemerintah daerah perbatasan.
Selanjutnya, tahap implementasi dapat diserahkan langsung ke pemerintah
perbatasan. Penyerahan wewenang langsung ke pemerintah perbatasan bertujuan
agar kerangka kerjasama kedua negara lebih implementatif dan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan pemerintah perbatasan Indonesia maupun Malaysia.
Apabila diplomasi perbatasan ini
diimplementasikan menjadi salah satu bagian dari konsep People’s diplomacy, maka Indonesia seperti sedang “sambil menyelam
minum air”, selain melakukan perbaikan daerah perbatasan juga mampu mereduksi
potensi konflik kedua negara karena terjalin eratnya hubungan kekerabatan baik
secara kultural maupun formal. Jadi, tidak ada lagi istilah masyarakat
perbatasan yang terlupakan. Yang ada hanya istilah masyarakat perbatasan yang
menjadi gerbang utama diplomasi dengan negara tetangga.
*)
Mahasiswa Hubungan Internasional UB 2012
Staf Litbang LPM Perspektif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar